"You are not fully dressed until you wear a smile". bisa diartikan: "belumlah lengkap berbusana jika belum tersenyum". Sepakat dengan makna yang terkandung dalam kalimat itu kan?
Senyum akan menyempurnakan penampilan. Sederhana dan jelas. Namun gak perlu kaget kalau nanti ada yang menerjemahkan lain. Mungkin dengan titel cendekiawan bagai cendawan (maksudnya?) ahli bahasa modern beraliran neo liberal, neon box atau dengan dalih kebebasan berpendapat yang menerjemahkan kalimat tadi menjadi: "gak penting berpakaian, yang penting itu senyum", yah gak mesti seperti itu kalimatnya, mungkin dalam berbagai bentuk kalimat elastis yang didukung trendsetter bayaran agar generasi instan yang tidak kenal sejarah dan budayanya akan latah ikut mengkampanyekan "senyum lebih penting dari busana". :D
Senyum akan menyempurnakan penampilan. Sederhana dan jelas. Namun gak perlu kaget kalau nanti ada yang menerjemahkan lain. Mungkin dengan titel cendekiawan bagai cendawan (maksudnya?) ahli bahasa modern beraliran neo liberal, neon box atau dengan dalih kebebasan berpendapat yang menerjemahkan kalimat tadi menjadi: "gak penting berpakaian, yang penting itu senyum", yah gak mesti seperti itu kalimatnya, mungkin dalam berbagai bentuk kalimat elastis yang didukung trendsetter bayaran agar generasi instan yang tidak kenal sejarah dan budayanya akan latah ikut mengkampanyekan "senyum lebih penting dari busana". :D
Tapi kan sot....., ah sudahlah... ngaconya sudah over :D.
Dalam
buku Fashion Sebagai Komunikasi, Malcolm Barnard sang penulis
menjelaskan fungsi utama pakaian adalah menyembunyikan bagian-bagian
tubuh yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain dan melindungi
kita dari berbagai situasi dan kondisi. Kalau saya mendefinikan
bagian-bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain itu
sebagai "aurat", jelas pula fungsi pakaian untuk melindungi badan dari
sinar ultraviolet atau panas teriknya matahari (yang kata mamah bisa
menyebabkan penuaan dini). Anak SD juga saya rasa sudah tau lah yah
fungsi utama pakaian :)
Lebih
lanjut, pakaian juga tidak sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia
(sandang), tetapi juga menjadi salah satu wadah ekspresi budaya," jelas
Irwan M. Hidayana, Antropolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia. Hal itu menegaskan pandangan Malcolm
dalam bukunya tadi bahwa; pakaian berperan sebagai alat komunikasi
identitas, adat, dan sifat individu pemakainya.
Intinya
kita paham bahwa pakaian dapat menjadi pernyataan sikap
sekaligus mencerminkan pandangan dunia yang dipilih seseorang.
Kesimpulan-kesimpulan di atas tadi kalau "dipaksakan" bisa juga
digunakan untuk memahami bagaimana seorang Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih dikenal sebagai HOS Tjokroaminoto menyampaikan sikap memberontak penggolongan strata sosial kolonial melalui simbol-simbol pakaian dan gayanya.
Salah satu potret lukisan HOS Tjokroaminoto yang "out of the box" itu foto ini, di foto ini beliau mengenakan kain sarung, jas tutup/jas kurung melayu, kopiyah, dan sandal. Pak Tjokro memandang dengan sorot mata dan gaya tubuh yang "unik". Duduk dengan kaki kanan diangkat dan diletakkan di atas lutut kaki kiri. Posisi tangan dan tubuh serta mimik muka yang sedemikian menarik untuk dicermati. Kalau di luar negeri lukisan Monalisa banyak dibahas karena "senyumnya yang misterius" kenapa lukisan foto HOS Tjokro ini tidak terlalu banyak dibahas?
Salah satu potret lukisan HOS Tjokroaminoto yang "out of the box" itu foto ini, di foto ini beliau mengenakan kain sarung, jas tutup/jas kurung melayu, kopiyah, dan sandal. Pak Tjokro memandang dengan sorot mata dan gaya tubuh yang "unik". Duduk dengan kaki kanan diangkat dan diletakkan di atas lutut kaki kiri. Posisi tangan dan tubuh serta mimik muka yang sedemikian menarik untuk dicermati. Kalau di luar negeri lukisan Monalisa banyak dibahas karena "senyumnya yang misterius" kenapa lukisan foto HOS Tjokro ini tidak terlalu banyak dibahas?
Saya bersyukur pernah mendengar langsung dari Aulia Tahkim (cicit HOS Tjokroaminoto) mengenai makna komunikasi nonverbal yang terdapat dalam lukisan itu. Pada masa HOS Tjokroaminoto, kain sarung, jas tutup, kopiyah dan sandal diartikan sebagai pakaian "kampung", orang-orang terdidik, kalangan priyayi, ambtenar, warga strata atas dan menengah
akan lebih memilih menggunakan setelan jas berdasi lengkap dengan
sepatu. Hal itu tidak berlaku bagi HOS Tjokroaminoto. Gaya menatap
langsung tanpa senyum dan mengangkat kaki juga bukan hal yang umum
karena bisa diartikan "tidak sopan" kala itu. Warga pribumi umumnya akan
menundukkan pandangan atau memandang bersahabat dengan senyum manis dan
duduk dengan rapih, bukan menatap tegas dan mengangkat kaki seperti itu
:)
Jiwa pemberontak HOS Tjokroaminoto menemukan lahan subur di tengah ketatnya tata krama feodal yang menghinakan martabat kemanusiaan. Karena penentangannya atas sikap "sembah jongkok" terhadap penjajah Belanda dan pejabat feodal (pangreh praja) inilah ia disifatkan sebagi seorang yang radikal. "anti maintream", "anti status quo" atau apalah istilah-istilah kekinian.
Pada
akhirnya busana memang bisa dianggap sebagai simbol akan banyak hal
dari orang yang mengenakannya, dan tiap orang dapat membaca simbol
tersebut dengan cara yang berbeda dengan kedalaman yang berbeda.
Met menjelang weekend :)
Met menjelang weekend :)