Hujan,
adalah kita,
adalah untaian tetesan air yang masing-masing
membawa pulang kisah dan kesah yang mengendap di langit. Di taman
sisa-sisa pelebaran jalan kota ia membasahi sampah yang tersesat dibawa
genangan kenangan.
Ke mana akan berlabuh kisah dan kesah?
Ke mana akan berlabuh kisah dan kesah?
Beberapa menguap kembali ke langit untuk turun kembali di gelombang eksodus hujan berikutnya.
Sebagian kecil menemukan tempat istirah dan diterjemahkan menjadi lagu, doa, tangis.
Sebagian kecil menemukan tempat istirah dan diterjemahkan menjadi lagu, doa, tangis.
Sebagian yang bernasib baik tinggal dan bersemayam pada bulir-bulir padi, sayur mayur dan buah-buahan untuk dikonsumsi lalu memakna dalam pikiran manusia.
Lalu kenapa ada sepi?
Karena hujan tidak otoriter seperti TV, ia memberi ruang untuk kita memaknai, mengisi segala warna-warna yang kita cintai.
Menuangkan segala ego dan mengabaikan kisah yang ia bawa....
Menuangkan segala ego dan mengabaikan kisah yang ia bawa....
Aku tahu kamu lebih suka mendengarkan sepinya yang berisik itu... mengisi ruang-ruang kosong dengan kehampaan sehingga aku tidak dapat hadir di sana.
Antara kita ada ruang, di sana hujan mengajak kita menari.... bernyanyi, berpuisi.
Kelak hanya itu yang kita simpan untuk diputar kembali saat hujan datang memanggil ingatan.