Foto copy dari SINI |
Apa yang terlintas dalam pikiran kita saat mendengar kata Tana Toraja?
Tongkonan, Tau-tau, nasi merah, tedong bonga, dst. Yup... daftarnya masih bisa ditambah lagi.
Sedikit merangkum artikel dari Koran Kompas edisi Senin tanggal 22 Januari 2007, saya berharap mudah-mudahan dapat menambah wawasan dan daftar objek yang bisa kita ingat saat mendengar kata Tana Toraja.
Jika ingin mudahnya (tanpa bermaksud menyederhanakan), maka ritus atau upacara adat orang Toraja dapat kita bagi menjadi 2 mainstream, yaitu Rambu Tuka' dan Rambu Solo'.
Rambu Tuka' adalah ritus yang terkait dengan upacara sekitar kehidupan, dalam kelompok ini antara lain upacara kelahiran, perkawinan, pesta panen, pesta sukuran/suka cita dst. Ritus ini dilakukan pada saat matahari terbit hingga tengah hari (aluk rampe mata-allo). Ritus ini berorientasi kearah timur dan biasanya dilaksanakan di sebelah timur Tongkonan (rumah adat Toraja).
Sedangkan Rambu Solo' terkait dengan upacara kematian, biasanya dilaksanakan setelah tengah hari atau sore hari (aluk rampe matampu) dan dilaksanakan disebelah barat Tongkonan.
Ritus Rambu Solo' atau upacara terkait kematian ini rasanya lebih populer. Saya pernah mendengar adanya kisah tentang upacara penguburan yang konon kabarnya dapat membuat jenazah berjalan layaknya orang yang masih hidup. FYI, Acara Rambu Solo' yang spektakuler bisa berlangsung hingga berbulan-bulan dan pastinya juga memotong kerbau dan babi hingga banyak sekali, namun jarang sekali acara seperti ini ada, yah mungkin setahun sekali... mungkin!, hanya jika ada upacara Rambu Solo' dari keturunan bangsawan atau orang terpandang di Toraja yang tentunya mampu secara finansial untuk menggelar acara sedemikian rupa. Sedangkan Acara Rambu Tuka' kurang populer karena konon pernah sempat dilarang gereja karena dinilai sebagai pemujaan terhadap dewa-dewa.
Upacara Rambu Solo' menjadi penting karena dalam perspektif Masyarakat Adat, kesempurnaan upacara kematian akan menentukan posisi arwah, apakah sebagai bombo (arwah gentayangan), to-membali puang (arwah yg mencapai tingkat dewa), atau deata (menjadi dewa pelindung). Dalam konteks ini, upacara kematian menjadi sebuah "kewajiban", maka dengan cara apapun orang Toraja hampir pasti akan mengadakan upacara tersebut, karena dengan begitulah mereka mengabdi kepada orang tua serta menjaga dan melestarikan budaya/tradisi.
Tentu saja ritus-ritus dan upacara adat itu bukan hanya ritus budaya dan tradisi, lebih dari itu, juga mengandung nilai-nilai religius dalam sistem kepercayaan orang Toraja yang menurut sejarah telah hidup sejak abad ke-9. Kita tidak membahas ritus tersebut dari aspek ini lho.
Kembali ke upacara Rambu Solo'.
IY Panggalo (Dosen Pasca sarjana Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja) mencontohkan upacara yang digelar Komisaris Jenderal Insmerda Lebang, salah satu penggagas acara "Toraya Mamali" pada Oktober 2006 lalu, saat mengupacarakan mendiang ayahnya, Kolonel (Pol) Ernst Lebang dengan upacara yang relatif sederhana, acara tersebut kabarnya hanya memotong 3 ekor kerbau dan menyerahkan uang (yang seharusnya dapat membeli kerbau lebih banyak lagi) untuk disumbangkan guna pembangunan desa.
Ini merupakan sebuah bukti akan adanya transformasi budaya, upacara kematian nantinya mungkin tidak lagi identik dengan memotong banyak kerbau dan babi. Mungkin lebih kepada sumbangsih dan bakti kepada masyarakat sekitar.
Struktur sosial masyarakat adat Toraja mengenal pembedaan ketentuan potong kerbau, misalnya 6, 8 dan 12 ekor, rapasan sapu randanan (yang digelar bangsawan tinggi) bahkan hingga 24 ekor. Namun seiring perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi beralaskan sendi-sendi tradisional seperti keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan pendidikan dan kemapanan ekonomi. Sudah banyak orang Toraja yang berasal dari strata sosial adat masuk dalam kelas rakyat kebanyakan namun hartawan, hingga mampu menggelar upacara kematian hingga berhari-hari dengan memotong kerbau yang banyak.
Hal yang juga menjadi renungan Jonathan L Parapak, Ketua Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI). "Memang jumlah kerbau itu sangat penting, tetapi tidak perlu sampai banyak sekali. Di dalam upacara rapasan sapu randanan saja jumlah kerbau menurut adat hanya 24 ekor. Nah kalau sekarang jumlahnya semakin banyak, itu terjadi pergeseran".
Mungkin yang dimaksud Pak Jonathan dengan pergeseran adalah bergesernya pesan-pesan moral dan makna-makna sosial dari pemotongan kerbau dan upacara kematian itu sendiri. Karena saya percaya, dibalik upacara kematian dan potong kerbau itu memiliki pesan yang mulia, jika yang dikedepankan hanya soal kompetisi banyaknya kerbau yang dipotong tentu akan sangat memperihatinkan, dan tentunya pemborosan bukanlah sebuah pesan yang ingin disampaikan dalam upacara Rambu Solo'.
Reff: Artikel Tanah Air, Kompas, Senin 22 Januari 2007 hal. 40.
Untuk lebih lanjut coba baca artikel ini:
http://www.appetitejourney.com/?app=article&cat=18&eid=25&id=343
_________________________
salah satu komentar di blog saya yang lama, sengaja saya masukkan untuk menghargai another point of view ybs:
riyus Jumat, 2 November 2007 @ 22:42 WIB
wah ternyata ada yang bahas kampung saya, kampung?
yup tana toraja itu kampung halaman saya, yang identik dengan adat pemakaman yang paling nyentrik.
nama saya riyus (salam kenal) toraja asli .
saya pernah denger cerita tentang orang yang nyumbang sejumlah besar uang untuk pembangunan desa dari pada dipakai untuk acara pesta pemakaman dari orang tua saya, tetapi saya tidak terlalu mengenal orang itu (walaupun bermarga lebang juga, mungkin ortu saya yg lebih tau).
orang kayak gini yang langka, biasanya orang2 yg ngadain upacara sejenis itu pasti bela2in potong kebo banyak demi prestise.
hmmm... sebenarnya nilai2 baik yang terkandung dalam upacara rambu solo itu udah ga ada kali ya, soalnya kebetulan minggu ini di kampung ada acara pemakaman nenek saya, saya tau betul perkembangan prosesnya dari ortu saya yg ada di sana.
acara yg rencananya diadakan sederhana jadi harus diadakan besar2an (seperti acara kakek saya dulu, mungkin karena ini penyebabnya) hanya karena prestise sanak saudara bertengkar, berselisih (ditambah dikomporin orang2 kampung lagi) ya gitu deh, itu sih saya pandang dari satu sisi saja, sudut pandang saya yg mengalaminya langsung.
tapi ortu saya hanya berkomen "namanya juga budaya", saya hanya bisa tersenyum.
andai saja semua orang toraja punya pemikiran seperti komisaris jenderal insmerda lebang, sedikit saja pemikiran seperti itu, kayaknya mereka akan lebih "selangkah kedepan dari tempat mereka berdiri sekarang"