Otreh, postingan ini spontan aja, abis baca blognya Mhimi ttg uang panaik, sebetulnya adat seperti itu bukan hanya milik orang Bugis-Makassar, tapi ada juga yang serupa di suku Nias, Banjar dll, namanya "Jujuran", coba aja tanya sama Mbah Google. Di tempat lain biasa dikenal dengan "seserahan".
Saya bukan ahli sejarah tapi secara logika saja bahwa adat ini sudah ada jauh sebelum nusantara mengenal Islam.
Kalo mau bicara dari aspek ajaran islam, yah singkat saja saya jawab, bahwa adat seperti "Uang Panaik" atau " Dui Menre" bukan ajaran Islam, tapi sudah menjadi adat istiadat atau tradisi alias common habit.
Praktek ini seperti sebuah pemberian, atau hadiah. Saat seorang pria ingin menikah dengan seorang perempuan, maka adalah sangat wajar dan manusiawi jika pihak pria memberi sesuatu kepada sang perempuan, pada waktu pacaran saja sudah sering ngasih.... ya gak?
Secara common sense juga maka pihak perempuan akan menguji kesungguhan sang pria untuk menikah. Konon zaman dahulu sampai ada sayembara pertarungan, lalu yang menang akan meminang sang perempuan. Ini terkait dengan survival living dan hendak seperti apa keluarga yang akan dipimpin sang pria.
Orang Bugis dan Makassar sangat menjaga harga diri mereka yang disebut "Sirri", sehingga penolakan secara langsung dari pihak perempuan akan menyinggung perasaan pihak keluarga laki-laki yang risikonya akan menjadi perseteruan antara mereka. Di sinilah fungsi uang panaik sebagai cara halus untuk menolak lamaran menemukan fungsinya. Jika pihak keluarga lelaki dapat memenuhi sejumlah uang panaik yang disetujui dua belah pihak, itu juga menjadi kebanggan bagi pihak lelaki.
Ya, saya tulis besaran uang panaik adalah hasil kesepakatan, karena jika tidak sepakat maka pada saat acara Mammanu'-manu' atau madduta (lamaran) maka tidak akan ada pertemuan lanjutan, jika pihak lelaki setuju dan mampu menyerahkan uang panaik maka prosesi akan berlanjut ke acara "mappenre dui"(mengantarkan uang pesta/menyerahkan uang panaik) sekaligus "mappetu ada" (menentukan hari).
Banyak juga yang memandang bahwa "Jujuran", "Uang panaik" dlsb itu nantinya akan digunakan sebagai modal awal usaha, ataupun untuk bekal hidup sementara bagi pasangan pengantin baru. Sah-sah saja sepanjang tidak memberatkan salah satu pihak.
Kalo sekarang "Jujuran", "Seserahan", "Uang Panaik" sudah menjadi komoditi gengsi sebenarnya gak betul juga, karena ternyata lebih banyak mitos dan omongan yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya mengenai hal ini.
Banyak pemuda yang memutuskan untuk tidak menikahi seorang gadis dengan alasan tidak mampu memenuhi tuntutan pihak perempuan sebenarnya adalah calon yang pada dasarnya memang tidak mendapat restu alias ditolak secara halus dengan memberi persyaratan yang memang mustahil termasuk persyaratan "Jujuran" atau "Uang panaik" yang jumlahnya ehm..ehm.
Belum lagi selain uang panaik kadang ada juga persyaratan yang dikenal dengan sompa (persembahan). Sompa bisa berbentuk apa saja, tanah, kebun atau emas yang diberikan kepada mempelai wanita (menjadi hak mempelai perempuan sepenuhnya, tidak boleh diambil meskipun nantinya mereka bercerai).
Untuk kasus seperti itu coba kita renungkan kisah legenda Dayang Sumbi dan kisah asal muasal Tangkuban Perahu sebagai penolakan lamaran Sangkuriang anaknya.
Saya adalah saksi hidup akan elastisnya budaya "Uang panaik", karena uang panaik secara praktis digunakan untuk acara resepsi pernikahan. Jika ada beberapa orang yang menyalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan dari budaya "Uang panaik" ini, itu adalah urusan pribadi mereka atau motif lain yang disembunyikan di balik adat.
Sebenarnya menurut saya, uang panaik ini adalah sebuah bukti komitmen dari pihak pria, karena tidak jarang saya dapati bahwa pihak perempuan lebih banyak menanggung biaya pernikahan putrinya. Lebih menyedihkan lagi, setelah banyaknya biaya yang digunakan untuk resepsi pernikahan ini, baru setahun atau dua tahun menikah sudah bercerai.
Adalah beban berat bagi pihak keluarga perempuan untuk memulihkan status pribadi anak perempuannya yang menjadi janda. Hal yang mungkin tidak akan dialami oleh pihak keluarga pria.
Saya menghormati budaya "Jujuran", "Uang panaik" sebagai penghormatan akan martabat seorang perempuan dan komitmen dari seorang lelaki. Namun saya juga mengecam pihak-pihak yang (jika ada) mengambil keuntungan dari budaya ini.
Jika alasannya adalah untuk menolak lamaran secara halus, saya bisa terima, namun jika "Uang panaik" dikait-kaitkan dengan status bangsawan (yang notabene sudah tidak relevan di zaman sekarang), tingkat pendidikan, dari keluarga haji bla..bla..bla saya tidak dapat berkata lain kecuali mengingatkan pesan Rasulullah lewat Hadits Abu Daud dan At-Tirmidzi :
"Dan apabila datang kepadamu orang yang kamu rela akan agama dan amanahnya, maka nikahkanlah ia, jika tidak kamu lakukan, maka akan terjadi bencana di bumi dan kerusakan yang besar".
Saya membayangkan tingginya tingkat pemerkosaan di beberapa wilayah di Sulawesi mungkin adalah karena akibat dari ulah mereka yang menyalahgunakan budaya "Uang panaik". Efek lainnya mungkin akan banyak perempuan dan pria yang tidak menikah seumur hidupnya akibat ini.
PS:
Yang saya bahas di atas adalah budaya "Uang panaik", "Jujuran" dan yang sebangsanya, bukan mahar dalam ajaran Islam. Mohon dibedakan antara Syariat dan adat.
Mahar pernikahan adalah syarat wajib untuk sahnya pernikahan dalam ajaran islam, sedangkan seserahan, uang jujuran, uang panaik dan semacamnya adalah syarat sah pernikahan secara adat.
Salam
mhimi Jumat, 25 January 2008 @ 09:04 WIB
zeeplah daeng postingannya..!
kalau biasa bacanya mhi2 temukan artikel2 yang sedikit menyudutkan kaum hawa bugis-makassar, dimana uang panaik dijadikan momok utama dalam alasan "kawin" lari di tengah2 masyarakat kita..
semoga semakin banyak pencerahan ttg makna "uang panaik" itu sendiri.
karna kupikir adat istiadat yang sudah menjadi tradisi turun menurun tentu tidak mungkin bisa bertahan kalau itu ngga ada maknanya...!
karna sempat gemes juga sech, kalau ada kalimat yang menyatakan perawan tua makin menjamur disulsel karna " uang panaik"
atau cewek-cewek yang masih setia melajang selalu disangkutkan dengan uang panaik..!
yah setidaknya postingan ini menurut aku beda banget dengan tulisan2 yang selama ini aku baca dengan topik yang sama yang dibahas dari sudut pandang lelaki.
sebenarnya sech mhi2 sadar kapasitas mhi2 waktu posting masalah ini belum pas, yah namanya juga tausiah kata daeng bisot kan..??
sekali lagi seeplah daeng...!
Jumat, 25 January 2008 @ 09:33 WIB
kawin lari.... kalo main hitung2an, pihak perempuan lebih banyak ruginya, karena secara hukum perdata jika memiliki anak, maka sang anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dalam hal waris dan perwalian.
tahu sendiri "sillariang" itu memiliki dampak budaya seperti apa dan untuk memulihkannya juga bagaimana, serba repot. kemungkinan besar awalnya adalah penolakan dari keluarga perempuan.
otre degh. kalo ada yg salah atau kurang sorry yah.
thx