Merayakan 17 Agustus dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung masing-masing individu. Tidak merayakannya dengan selebrasi besar-besaran pun bukan sebuah masalah kriminal apalagi subversif, rayakan saja semampunya, yang penting ikut merayakan.
Pagi, 17 Agustus, saya sekeluarga mudik ke Desa Sukamekar, Kecamatan Sukawangi. Saat melewati balai desa tampak ramai dipenuhi anak sekolah, guru, aparat desa lengkap dengan seragamnya.
Dari info yang saya dapat rupanya tadi pagi ada upacara bendera di lapangan bola, lalu konsumsi dan lain-lain disediakan di balai desa, padahal jarak antara lapangan dan balai desa saya perkiraan kurang lebih 500-800 meter, lumayan jauh untuk berjalan kaki bagi saya.
Oh iya, lapangan bola yang saya maksud ini adalah lapangan yang di dekat empang Wak Cebong, setahu saya lapangan bola itu milik seseorang yang tinggal di Jakarta, mungkin sebuah investasi, dulu seingat saya waktu saya masih tinggal di sini, warga desa patungan untuk membebaskan tanah lapang itu secara swadaya, tanah lapang itu dihargai Rp. 50 ribu per meter.
Dulu tanah lapang itu masih saja belum sepenuhnya milik warga, karena masih tersisa sekian puluh meter yang belum dibayar. Entah sekarang bagaimana statusnya, idealnya sih setiap desa punya lapangan yang cukup luas untuk menampung upacara besar seperti ini dan bisa jadi tempat pertandingan sepak bola.
Scope kelurahan atau desa terlalu luas, saya fokus ke level RT aja, khususnya RT di mana saya sekeluarga masih tercatat secara resmi sebagai warganya. Yah walalupun secara the facto saya sekeluarga sudah gak tinggal di situ, tinggal orang tua dan adik-adik saya yang masih bujangan saja yang masih tinggal.
Dalam rangka merayakan 17 Agustusan, entah inisiatif siapa yang pasti beberapa anak muda sudah berbagi tugas, ada yang menggalang dana ke warga sambil mendata anak-anak untuk beberapa lomba. Akhirnya dengan modal kurang lebih Rp. 100 ribu yang dikumpulkan secara swadaya dan sukarela itulah dibuat beberapa mata lomba untuk ikut dalam gelombang nasional, merayakan 17 Agustusan walau secara sederhana.
Lomba balap karung, memukul air dalam plastik, menggiring bola dengan terong, tarik tambang, makan kerupuk dan tentu saja panjat pinang.
Aiz ikut lomba makan kerupuk, sesudah itu cukup jadi penonton saja. Dari semua lomba yang ada, semangat kompetisi tidaklah terlalu tampak, yang muncul justru rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang dipenuhi tawa ceria. Bukan karena memang pada dasarnya satu kampung itu sebenarnya masih keluarga semua, tapi karena keceriaan dalam kesederhanaan yang keluar secara spontanitas dan apa adanya.
Panitianya dadakan saja, perlengkapan lomba juga seadanya memanfaatkan yang sudah ada dari sekeliling.
Kesulitan mendapat pohon pinang untuk lomba panjat pinang? Jangan khawatir batang Pohon pisangpun jadi, batang pohon pisang sumbangan warga dikerjakan seadanya dengan bermodal oli bekas dan kayu untuk menggantung hadiah2 yang murah meriah asal rame dan bahagia.
Yah namanya saja anak sedang usaha, dari bapaknya, neneknya ikut ngebantuin huehehehe yah gapapa deh yang penting asik abisnya udah kelamaan juga nungguin yang menang.
Akhir dari perjuangan..., yah namanya saja pohon pisang, karena hingga penonton bosan tapi belum juga berhasil memanjat pohon pisang itu, akhirnya alternatif terakhir, pohon pisang pun dirubuhkan. huehehehehe. Yang penting rame, ya gak brur n ses
Jadi dengan modal Rp. 100 ribu, panitia dadakan dan peran serta warga, akhirnya jadi deh pesta 17 Agustusan murah meriah dengan lomba-lomba seadanya.
Merdeka!!!
Bah... ini engkong2 kantong aernya di mana oiiii, nyasar tuh wkkkkkk
Ayo panjat pinang eh panjat PISANG huehehehe..
Bersih-bersih, yang penting asik dah