"Tidak ada orangtua yang mempunyai ijazah sebagai orangtua, karena memang tidak ada sekolah untuk orang tua.... Namun demikian "Tidak butuh orangtua yang sempurna untuk melakukan pengembangan bakat anak, pengembangan bakat anak hanya butuh kepedulian orangtua yang lahir dari cinta kasihnya kepada anak".
Kalimat-kalimat itu saya dapatkan di Bab 8, tepatnya di halaman 196 buku Anak Bukan Kertas Kosong.
Kalimat itu memang masih berbicara tentang pengembangan bakat anak, tapi lebih dari itu, kalimat tadi dapat berlaku dalam semua keadaan, mungkin dapat dirangkum dalam kalimat-kalimat: "tidak perlu orangtua yang sempurna untuk mencintai sang anak, tapi butuh kepedulian, menghargai keunikan sang anak, menerima mereka sebagaimana mereka adanya dan seterusnya.
Saya pernah mendengar kalimat: "didiklah anakmu jauh sebelum ia lahir". Kalimat yang sulit saya pahami saat saya belum menikah. Kini setelah kurang lebih 15 tahun berlalu sejak saya mendengar kalimat itu, sedikit demi sedikit saya mulai memahaminya, mungkin ini definisi versi saya yang juga mungkin berbeda dengan maksud asli kata-kata itu. Salah satu point yang saya petik dari kalimat "didiklah anakmu jauh sebelum ia lahir" adalah memperbaiki diri sendiri, menjadikan diri layak menjadi tauladan kelak bagi siapapun termasuk anak-anak saya.
Belum lama melalui komentar di Facebook saya juga mendapat nasehat yang intinya menyatakan "anak-anak bukan pendengar nasehat yang cakap, tapi mereka peniru yang ulung", ini juga terkait masalah keteladanan. Anak-anak bukan tidak mendengar sebuah nasehat, namun mereka adalah pengamat yang super cemerlang, mereka akan meniru apa yang ia lihat, mereka akan belajar melalui pengalamannya.
Kita bisa melarang mereka bermain api, tapi mereka benar-benar akan berhenti bermain api setelah mereka tahu api dapat melukai mereka, setelah mereka mengalami bahwa api dapat menyebabkan perasaan tidak enak bagi dirinya.
Bagaimana menjadi Ayah yang baik?
Kriteria ayah yang baik saja sudah membuat saya pening untuk menguraikannya, mungkin akan lebih mudah jika saya mencoba merinci sikap dan sifat baik dan keburukan-keburukan diri sendiri. Memperbaiki apa-apa yang sudah baik dan terus menambah kebaikan-kebaikan agar dapat meminimalisir yang buruk. Ini menjadi wajib karena saya ingin menjadi tauladan yang baik untuk anak-anak saya
Dengan apa adanya diri saya saat ini saya berusaha untuk membuat suasana yang inspiratif, suasana yang kondusif untuk anak-anak belajar yang baik-baik, berusaha membuatnya aman dan nyaman untuk belajar apapun, aman karena dalam kendali dan nyaman karena tidak akan ada cemooh untuk kesalahan-kesalahan dalam proses belajarnya, kesalahan hanyalah sebuah proses belajar dimana mereka akan mendapat pengalaman yang berharga untuk lebih siap menghadapi tantangan-tantangan belajar.
Sejauh mana peran istri?
Dalam keluarga kami, peran istri justru amat sangat dominan, saya praktis hanya sempat berinteraksi 4-5 jam sehari pada hari kerja, saat akhir pekan juga demikian jika sedang ada kegiatan. Jadi saya tidak protes pada artikel yang menyatakan Ibu yang cerdas akan melahirkan anak-anak yang cerdas :)
Mengenai teladan ini sebenarnya anak-anak itu bukan sekadar meniru, tapi terinspirasi, sebagaimana kita orang dewasa terinspirasi dengan apa-apa yang kita lihat, hanya saja kita telah dapat memilah apa yang kita lihat dengan filter-filter yang rumit, sedangkan anak-anak masih dalam tahap membangun filter-filter itu, dari berbagai filter itu salah satunya norma-norma tata nilai sosial yang memisahkan antara yang baik dan tidak baik, yang bermanfaat dan tidak bermanfaat dan seterusnya.
Orangtua sebagai sumber inspirasi kiranya dapat menjadi filter sekaligus sumber inspirasi. Kedengarannya berat juga jadi orangtua :D
Seandainya ada sekolah untuk orangtua... mungkin saya termasuk murid yang bebal dan tidak akan pernah lulus :)
Mungkin harus belajar privat sama Dian Sastrowardoyo hehehe *modus*.