Yah tagar #KamiTidakTakut segera mengantikan tagar #PrayForJakarta yang sempat menjadi trending topik twitter. Saat kejadian kemarin, saya tidak menyumbang satupun twit untuk kedua hashtag tadi, hanya beberapa RT informasi yang menurut saya penting dan mengandung hashtag itu. Saya tidak berani bersuara 1 twit pun dengan hashtag #KamiTidakTakut ataupun #PrayForJakarta.
Meme Tombol Bahaya
Begitu membaca kabar mengenai aksi teroris di Jalan MH Thamrin dekat Starbuck Sarinah, saya segera mengikuti perkembangan beritanya, dalam bahasa Richard Brodie dalam buku “Virus Akal Budi” berita ini telah berhasil menekan "tombol bahaya" dalam diri saya. Dalam bukunya Brodie menulis: Sudah kodrat kita untuk memperhatikan meme penekan tombol. Menekan tombol adalah cara yang efektif bagi meme untuk menarik perhatian, sehingga meme-meme yang menjengkelkan, menggoda, membuat kita berang atau takut, tersebar luas.
Mengetahui adanya sebuah ancaman bahaya, yang terus menerus dan secara massif disiarkan melalui televisi telah membuat saya merasa tidak nyaman dan terdorong untuk menekan "tombol bahaya" dalam diri saya. Dorongan-dorongan yang secara tidak disadari telah merangsang bagian-bagian tertentu dalam otak, yang jika diabaikan akan meciptakan perasaan tidak nyaman yang terus mendorong untuk melakukan sesuatu untuk mengembalikan keseimbangan dalam diri.
Disonansi kognitif
Istilah disonansi kognitif pertama kali dipopulerkan oleh seorang psikolog bernama Leon Festinger pada tahun 1950an. Disonansi adalah perasaan tidak menyenangkan yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan: jika seseorang berada dalam disonansi atau keadaan yang tidak nyaman, maka ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut. (Sumber: Wikipedia)
Disonansi kognitif menjelaskan bagaimana aksi teror yang disiarkan melalui media menciptakan ‘ketakutan’ yang salah satunya berefek menghasilkan rasa penasaran berkelanjutan sehingga menuntut pemirsanya mencari rasa aman. Rasa takut yang terciptakan dalam diri akan terobati dengan terus menonton perkembangan situasi hingga kita takut untuk ketinggalan berita, ada rasa aman yang terbayar jika kita tetap menonton (mengetahui) detik demi detik perkembangan kejadian yang sedang dilaporkan oleh media.
Dalam bingkai dua teori atau gagasan tersebut di atas itu saya mencoba menerjemahkan untuk memahami perasaan-perasaan yang masuk tanpa permisi dalam pikiran dan otak saya akibat menonton rentetan peristiwa di Thamrin kemarin siang. Ya saya sadar telah ter-disonansi dan tersandera dalam rasa "tidak aman" sehingga saya terus memantau peristiwa tersebut dari televisi dan internet. Setelah akhirnya saya menarik diri dan mencoba meredakan akumulasi dorongan-dorongan dalam pikiran pada sebuah twit berbunyi "silent please". Hanya itu yang berhasil saya twit setelah hampir sejam mengikuti perkembangan situasi teror dari Televisi, internet dan aplikasi perpesanan yang mengirimkan foto-foto korban tanpa sensor.
Aksi teror jelas menyebarkan intimidasi yang mungkin akan menyebabkan trauma bagi yang mengalaminya secara langsung. Bagi yang tidak mengalaminya secara langsung akan terlibat secara emosional dengan perantara berbagai media, tidak menutup kemungkinan juga akan menyebabkan trauma, minimal ikut merasa takut dan terancam dalam level yang mungkin lebih rendah. Diperlukan aksi remedial untuk menyembuhkan trauma dan rasa takut ini.
Liputan media mengenai penumpasan dan penangkapan akan sedikit mengobati, ada rasa aman yang disampaikan, bahwa ancaman sudah hilang. Ada anti klimaks yang berhasil meredakan ketegangan karena sumber intimidasi telah hilang. Sayangnya "ancaman-ancaman" yang akan mengingatkan kembali pada trauma ini tanpa disadari terus diinformasikan dengan berbagai macam sarana. Menyebarkan informasi yang tidak lengkap, menyebarkan foto-foto kejadian atau foto-foto korban dalam media sosial ataupun perpesanan merupakan perpanjangan intimidasi dan teror dalam skala berbeda. Mungkin ada kesenangan sendiri bagi yang menyebarkan foto-foto itu, mungkin ia ingin berbagi pengalaman trauma dengan membuat orang lain ikut takut seperti yang ia rasakan ataupun motif-motif lain yang saya sendiri kurang paham mengenai apa perlunya membagikan foto-foto dan informasi seperti itu. Yang pasti itu bukan aksi remedial yang dibutuhkan dan jelas bukan jawaban untuk meredam disonansi yang dialami.
Saya tidak ikut serta menulis twit dengan hashtag #PrayForJakarta karena saya saat itu juga sedang berada di bagian dari Jakarta dan sama sekali tidak merasa terkait dengan situasi di jalan MH Thamrin. Bukan saya tidak berempati atas kejadian itu, hanya saja saya menolak gagasan bahwa seluruh Jakarta sedang dalam situasi yang sama seperti di lokasi kejadian. Beda hal dengan hashtag #KamiTidakTakut. Saya merasakan kontradiksi dengan hashtag #KamiTidakTakut, dan tagar itu tidak benar-benar membuat saya berhasil keluar dari disonansi yang saya rasakan.
Takut itu ada, sedih, kecewa dan marah. Semua bercampur menjadi satu. Sedikit terobati mengetahui aparat telah cepat bertindak dan dengan cepat dapat mengendalikan situasi yang sempat chaos. Namun meme penekan tombol bahaya terus tersebar melalui berbagai wahana... hingga satu persatu tergantikan dengan foto-foto yang memperlihatkan pedagang sate, pedagang asongan, tukang ojek dan masyarakat yang dengan cepat pulih dari disonansi kognitif dan kembali beraktivitas seperti biasa. Itu anti klimaks dari intimidasi dan disonansi yang saya rasakan hari itu.
Dari mereka saya kembali belajar, mereka yang mungkin setiap hari tidak diperhatikan kini menjadi istimewa. Mereka... entah bagaimana dapat membuat saya mensyukuri keberadaannya. Mereka... pedagang asongan, penjual sate, tukang ojek, pedagang kacang rebus dan seterusnya, hanya sebentar saja terusik dengan aksi teror itu. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka, dari mereka saya seakan belajar untuk menertawai ketakutan, mereka tidak takut, mereka tidak kenal ketakutan yang telah menciptakan reaksi kimia berbahaya di otak saya. Mereka yang sederhana ini seperti mengajak saya ikut dalam aura #KamiTidakTakut dalam level yang berbeda dengan yang rekan-rekan netizen (khususnya di twitter) komunikasikan.
Kesederhanaan mereka seperti menunjukkan, ada "dunia lain" yang tidak kenal teori-teori rumit konstelasi politik ekonomi dan paham-paham ideologi ribet, "dunia lain" yang tidak mengenal rumitnya dialektika komunikasi dan teori psikologi tingkat tinggi, "dunia lain" yang tidak mengenal konsep kekerasan sebagai teror, sebuah "dunia lain" yang ironisnya telah terbiasa diabaikan, kini giliran mereka mengabaikan kita yang ketakutan. :)
Gambar/foto: asal comot dari mana-mana
Foto Tukang kacang courtesy of Adam Harvey
Gambar/foto: asal comot dari mana-mana
Foto Tukang kacang courtesy of Adam Harvey