JANG OETAMA
Jejak dan Perjuangan H.O.S Tjokroaminoto
Penulis: Aji Dedi Mulawarman
Penerbit: Galang Pustaka (2015)
Cet.1, 2015; 140 x 205 mm; 256 halaman
Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir di Bakur, Sawahan, Madiun, Jawa Timur pada tanggal 16 Agustus 1882. Tjokro yang saat kecil biasa dipanggil dengan nama Oemar Said adalah anak kedua dari 12 bersaudara, dari seorang ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, seorang pangreh praja dengan pangkat Wedana di Kleco, Madiun. Sedangkan kakeknya adalah R.M. Adipati Tjokronegoro, yang pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Tjokro kecil disekolahkan ke OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren) atau Sekolah Calon Pegawai Bumiputra di Magelang. Setelah lulus dari OSVIA, Tjokro muda sempat bekerja sebagai juru tulis di Glodog, Purwodadi, di kesatuan pegawai administratif Bumiputra Ngawi. Saat itu juga, Tjokro dinikahkan oleh orangtuanya dengan anak dari R.M. Mangoensoemo, Wakil Bupati Ponorogo, yaitu R.A. Soeharsikin. Dari pernikahan dengan Soeharsikin, lima anak Tjokro lahir, yaitu Siti Oetari, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah, dan Soejot Ahmad.
“Tiga tahun bekerja sebagai juru tulis tidak membuatnya bermimpi meneruskan tradisi ‘priayi pangreh praja’. Jiwanya mulai berontak, pertanyaan mulai banyak berkembang di kepala Pak Tjokro Muda, mengapa kita orang Indonesia harus bekerja sebagai pegawai Belanda? Mengapa Belanda sesukanya memerintah? Mengapa di luar keluarga para priayi, di desa-desa petani bernasib miskin, melarat, tak berdaya, harus setor kepada Belanda? Kenapa tidak ada itu namanya juru tulis orang Belanda? Kenapa kuli-kuli itu semua orang Indonesia dan bukannya Belanda?,”.
Kisah ini tertulis berurutan pada bagian awal seperti sebuah buku biografi, selanjutnya dikisahkan kegiatan-kegiatan politik H.O.S Tjokroaminoto hingga pindah ke Surabaya. H.O.S Tjokroaminoto rajin menulis, terutama tulisan jurnalistik. Banyak tulisannya bercerita tentang kondisi rakyat yang memprihatinkan akibat eksploitasi perusahaan asing dan pendudukan kolonial Belanda. Tulisan-tulisan kritis itu kemudian banyak dimuat di surat kabar Suara Surabaya, Oetoesan Hindia, Fajar Asia dan Soeloeh Hoekoem. Dari tulisan kritis itu, Tjokro mulai dikenal sebagai tokoh muda pembela rakyat kecil.
Melalui gagasan kritisnya, Tjokro mulai melakukan penyadaran nusantara mengenai Zelfbestuur atau pemerintahan sendiri (yaitu pemerintahan yang membawa nasionalisme ber-Tuhan Allah, bukan benda). Untuk merealisasikan hal itu, Tjokro mendidik tiga orang yang kelak menjadi tokoh nasional, yaitu Soekarno, Hamka dan Kartosoewirjo. Ketiga murid itu dididik di rumah yang terletak di Jalan Peneleh VII No. 29–31 Surabaya yang kemudian menjadi pusat dari semua hal yang berkembang dalam Pergerakan Nasional di Indonesia pada masa itu sebagaimana dicatat dalam BAB 2 Sub judul “Dari Peneleh Perlawanan Dimulai..!” dan “Langkah Strategis Menuju Puncak Perlawanan”.
Bagi penggemar sejarah, buku ini dapat menjadi salah satu referensi pergulatan ide dan perjuangan mewujudkan Republik Indonesia serta sedikit seluk beluk sepak terjang dan pemikiran seorang H.O.S Tjokroaminoto, sang Guru Bangsa.