Saya nggak tahu dari mana datangnya kalimat "tidurnya orang berpuasa adalah ibadah", namun terlepas dari polemik itu, saya memaknainya: jika tidur saja adalah ibadah, maka tidak tidur (terjaga) dan beraktivitas positif adalah lebih bernilai ibadah, setuju?.
Untuk beberapa orang kemungkinan saja tidur adalah cara untuk menghindari hal-hal negatif yang kemungkinan besar akan ia lakukan jika ia terjaga, mungkin dari situasi lingkungan atau memang situasi dan kapasitas dirinya yang memang mudah untuk melakukan hal-hal negatif?.
Mungkin saja untuk pribadi-pribadi seperti ini tidur menjadi lebih baik. Sekalipun kita masih bisa berdebat bahwa masih ada hal lain yang bermanfaat selain tidur :)
Kembali pada statement awal, dengan logika sederhana: jika tidur saja bernilai ibadah, maka sudah pasti tidak tidur (terjaga) dan beraktifitas positif akan jauh lebih bernilai ibadah, misalnya bekerja (ikhtiar).
Bekerja selalu bernilai ibadah kapanpun itu, ikhtiar mencari rezeki yang halal demi penghidupan yang mulia adalah bukti kesabaran seorang hamba. Jika yang berikhtiar saja belum tentu berhasil, apalagi yang hanya tidur saja?
Rezeki adalah selalu urusan-Nya, kepada siapapun Dia mencurahkannya adalah bersifat prerogatif sang Maha Sutradara yang Maha Berkehendak. Ikhtiar adalah usaha, soal rezeki kembali sepenuhnya dalam wilayah sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Ikhtiar mensyaratkan kesabaran, kualitas pantang menyerah dan kemampuan belajar kembali atas metode-metode yang telah dipraktekkan sebelumnya.
Puasa memberikan nilai tambah bagi ikhtiar seseorang, jika yang halal saja ia hindari, apalah lagi yang haram. Puasa menghadirkan Allah selalu dekat dengannya, kualitas ihsan cukup menjadikan dirinya selalu dalam pengawasan melekat. Ia memang tidak melihat Allah, cukup baginya menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang menjadi rahasianya.
Puasa yang menjadi kontrak rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya telah membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan perbudakan dari tuhan-tuhan kecil yang selama ini menyanderanya.
Hawa nafsunya tunduk, egosentris-nya luruh dalam komunikasi langsung yang rahasia, antara dia sebagai hamba dengan sang Maha Besar.
Badannya melemah karena insting-insting naluriah dikekang dalam ikrar niat berpuasa. Jiwanya yang selalu mengalah demi kebutuhan badaniah fana kini bangkit, memenuhi janji menjadi pemimpin hidup dalam menyusuri ruang dan waktu semu, menuju keabadian dengan segala kesadaran.
Jika kita berkaca pada kisah hidup Nabi SAW, kita akan lebih jauh mempertanyakan aktivitas tidur di bulan Ramadan atau saat puasa sebagai ibadah, karena kemenangan di Perang Badar, peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Mekah), Perang Tabuk dll semuanya terjadi pada bulan Ramadan. Belakangan banyak pula peristiwa dalam dunia Islam yang terjadi saat bulan Ramadan. Apakah semua itu diraih dengan tidur? :)
Jadi, memilih tidur atau beraktivitas positif saat berpuasa adalah pilihan kita masing-masing, semoga apapun pilihan itu akan lebih mendekatkan kita pada tujuan puasa. :)
Untuk beberapa orang kemungkinan saja tidur adalah cara untuk menghindari hal-hal negatif yang kemungkinan besar akan ia lakukan jika ia terjaga, mungkin dari situasi lingkungan atau memang situasi dan kapasitas dirinya yang memang mudah untuk melakukan hal-hal negatif?.
Mungkin saja untuk pribadi-pribadi seperti ini tidur menjadi lebih baik. Sekalipun kita masih bisa berdebat bahwa masih ada hal lain yang bermanfaat selain tidur :)
Kembali pada statement awal, dengan logika sederhana: jika tidur saja bernilai ibadah, maka sudah pasti tidak tidur (terjaga) dan beraktifitas positif akan jauh lebih bernilai ibadah, misalnya bekerja (ikhtiar).
Bekerja selalu bernilai ibadah kapanpun itu, ikhtiar mencari rezeki yang halal demi penghidupan yang mulia adalah bukti kesabaran seorang hamba. Jika yang berikhtiar saja belum tentu berhasil, apalagi yang hanya tidur saja?
Rezeki adalah selalu urusan-Nya, kepada siapapun Dia mencurahkannya adalah bersifat prerogatif sang Maha Sutradara yang Maha Berkehendak. Ikhtiar adalah usaha, soal rezeki kembali sepenuhnya dalam wilayah sifat-Nya yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Ikhtiar mensyaratkan kesabaran, kualitas pantang menyerah dan kemampuan belajar kembali atas metode-metode yang telah dipraktekkan sebelumnya.
Puasa memberikan nilai tambah bagi ikhtiar seseorang, jika yang halal saja ia hindari, apalah lagi yang haram. Puasa menghadirkan Allah selalu dekat dengannya, kualitas ihsan cukup menjadikan dirinya selalu dalam pengawasan melekat. Ia memang tidak melihat Allah, cukup baginya menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang menjadi rahasianya.
Puasa yang menjadi kontrak rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya telah membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan perbudakan dari tuhan-tuhan kecil yang selama ini menyanderanya.
Hawa nafsunya tunduk, egosentris-nya luruh dalam komunikasi langsung yang rahasia, antara dia sebagai hamba dengan sang Maha Besar.
Badannya melemah karena insting-insting naluriah dikekang dalam ikrar niat berpuasa. Jiwanya yang selalu mengalah demi kebutuhan badaniah fana kini bangkit, memenuhi janji menjadi pemimpin hidup dalam menyusuri ruang dan waktu semu, menuju keabadian dengan segala kesadaran.
Jika kita berkaca pada kisah hidup Nabi SAW, kita akan lebih jauh mempertanyakan aktivitas tidur di bulan Ramadan atau saat puasa sebagai ibadah, karena kemenangan di Perang Badar, peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Mekah), Perang Tabuk dll semuanya terjadi pada bulan Ramadan. Belakangan banyak pula peristiwa dalam dunia Islam yang terjadi saat bulan Ramadan. Apakah semua itu diraih dengan tidur? :)
Jadi, memilih tidur atau beraktivitas positif saat berpuasa adalah pilihan kita masing-masing, semoga apapun pilihan itu akan lebih mendekatkan kita pada tujuan puasa. :)
Salam
________________
3 Ramadan 1437 H (2016)