Sejak diajak gabung di grup Whatsapp Jejak Sejarah Bekasi jadi banyak belajar hal-hal baru yang memperluas wawasan dan pengetahuan kesejarahan dan macam-macam. Ada diskusi yang diam-diam saya ikuti mengenai "menafsirkan dan membaca". Menarik :)
Menafsirkan sebuah kalimat tidak selalu semudah copy paste di form google translate. Sebuah kalimat yang jelas dimaksudkan untuk sebuah informasi jurnalistik tentu akan semakin tinggi kadarnya jika semakin jelas. Tapi tidak demikian dengan kalimat sastra, apalagi karya sastra terjemahan.
Menafsirkan sebuah kalimat tidak selalu semudah copy paste di form google translate. Sebuah kalimat yang jelas dimaksudkan untuk sebuah informasi jurnalistik tentu akan semakin tinggi kadarnya jika semakin jelas. Tapi tidak demikian dengan kalimat sastra, apalagi karya sastra terjemahan.
Teks membuat jembatan pada makna yang ia ingin sampaikan, jika jembatannya bahasa, maka dengan menerjemahkan dari bahasa aslinya sekalipun fungsinya mungkin sama tapi tidak akan pernah sama. Pengalaman melewati jembatan titian bambu, titian tali atau jembatan beton memang akan mengantar pada tujuan yang sama, tapi pengalaman yang diciptakannya beda. Suasana kebatinan yang ditimbulkan teks dalam menyampaikan maknanya tetap akan beda.
Sayangnya saya bukan ahli bahasa, saya hanya senang menikmati "jembatan-jembatan" yang diciptakan oleh rangkaian kata dalam kalimat kemudian bermain-main di jembatan itu sebelum akhirnya tiba diseberang dan menemukan makna dari kalimat itu.
Ternyata bermain-main di "jembatan" itu mengasikkan bagi saya, semakin banyak bacaan-bacaan yang saya baca semakin banyak jembatan yang saya kenali dan tentunya banyak juga yang saya gak pahami, tapi saya percaya masih banyak jembatan lainnya yang menunggu saya untuk menikmati keasikan yang ditawarkannya.
Sebuah kalimat yang mengasikkan itu salah satu contohnya seperti ini:
Kegaena na mumaberrekkeng, buaja bulu’ede, lompu’ walennae?
[Mana lebih kau suka, buaya gunung, atau lumpur sungai?]
Buaya gunung dan lumpur sungai. Apa yang dimaksud buaya gunung? kenapa disepadankan dengan lumpur sungai? Berdasarkan yang saya baca maksud dari kalimat itu menjadi:
"Mana lebih kau suka, macan atau pasir?
Kalimat ini tidak bisa dipahami jika sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, kecuali kita kembali ke kalimat asalnya yang berbahasa Bugis. Aksara Bugis adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Satu silabel (suku kata) jika dibaca bisa menjadi enam jenis silabel. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca ‘pa’, 'pang’, ‘ppang’, ‘pa’’, atau ‘ppa’’. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi dalam kalimat Kegaena na mumaberrekkeng, buaja bulu’ede, lompu’ walennae?.
Buaya gunung adalah sebuah perumpamaan untuk macan, kata macan kalau ditulis dalam aksara lontara maka hanya terdiri dua huruf yaitu ma-ca. Lumpur sungai yang dimaksud adalah pasir, pasir dalam bahasa Bugis adalah kessi yang juga hanya terdiri dari dua huruf ke-si.
Kalimat ini tidak bisa dipahami jika sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, kecuali kita kembali ke kalimat asalnya yang berbahasa Bugis. Aksara Bugis adalah tidak adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap (geminated consonants). Satu silabel (suku kata) jika dibaca bisa menjadi enam jenis silabel. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja dibaca ‘pa’, 'pang’, ‘ppang’, ‘pa’’, atau ‘ppa’’. Keunikan aksara Bugis inilah yang dieksplorasi dalam kalimat Kegaena na mumaberrekkeng, buaja bulu’ede, lompu’ walennae?.
Buaya gunung adalah sebuah perumpamaan untuk macan, kata macan kalau ditulis dalam aksara lontara maka hanya terdiri dua huruf yaitu ma-ca. Lumpur sungai yang dimaksud adalah pasir, pasir dalam bahasa Bugis adalah kessi yang juga hanya terdiri dari dua huruf ke-si.
Dalam tulisan teks aksara Bugis, kata macan dapat dibaca menjadi macca’ (pintar atau cerdas) dan pasir dalam bahasa Bugis adalah kessi' yang dapat pula dibaca kessing (bagus atau cantik). Masing-masing ditulis ‘ma-ca’ dan ‘ke-si’. Akhirnya makna kalimat itu menjadi:
Mana yang lebih kamu suka, yang cerdas (macca) atau yang cantik/ganteng (kessing)?
Sebuah pertanyaan yang memerlukan pemikiran panjang bagi seorang pria/wanita jika yang menanyakan itu adalah orang tua atau pihak keluarga yang cukup berperan menentukan jodohnya. Apa pun jawabannya, pihak yang bertanya sudah memiliki jawabannya. FYI perjodohan masih berlaku dalam tradisi Bugis Makassar hingga saat ini walau sudah semakin longgar dan ada sebab-sebab atau situasi tertentu.
Gitu dulu deh catatan minggu pagi menjelang siang :)
Selamat berakhir pekan.
Selamat berakhir pekan.