Saya harus kembali bersyukur mengingat saat saya remaja telah banyak sekali melakukan "hal-hal bodoh", tapi saat itu belum ada yang namanya media sosial. Paling jauh hanya nyoret-nyoret dumelan di meja kelas, dinding toilet sekolah, mading, dst.
Rekam jejak dunia maya ini tidak bisa kita kontrol, daripada menghabiskan waktu untuk mengurus efek dari "ketidakmenentuan", klarifikasi dst maka sangat disarankan untuk hati-hati berinteraksi di dunia maya. Banyak pihak yang dapat memanfaatkan jejak rekam digital kita keluar dari konteks, lalu menggunakannya untuk kepentingan masing-masing.
Belum cukupkah kita belajar dari pengalaman buruk orang lain? mustikah kita yang mengalaminya sendiri?
Yang paling tidak disadari saat menulis di media sosial adalah: semua orang yang membaca tulisan kita "dapat merasa" menjadi pihak kedua. Seakan-akan tulisan itu kita tujukan langsung padanya. Ini soal "rasa" yang subyektif, sulit untuk melogikan masalah rasa. Walau dibekali logika, manusia tetaplah makhluk emosinal yang jika "ditekan tombolnya" maka secara naluriah akan melahirkan reaksi yang subyektif tergantung kondisi emosional masing-masing.
Manusia sudah jelas tempatnya salah dan lupa, karenanya kewaspadaan penting untuk terus dihadirkan. Ibarat main catur, efek dari sebuah langkah yang kita ambil akan sulit untuk diramalkan, menguntungkan atau merugikan sudah harus dipikiran sejak awal.
Saya jelas pernah melakukan kesalahan, dulu ataupun mungkin di masa yang akan datang, karena faktor lupa, khilaf dan lain-lain. Tanpa konteks semua menjadi abu-abu, kata-kata khusus dalam bingkai canda menjadi berbeda makna jika bingkainya diganti, menjadi berbeda akibat jika konteks sebabnya diubah atau ditiadakan.
Jika hal itu terjadi pada kita, jika kita mengalami hal seperti itu, yang saya dapat pikirkan pertama kali adalah meminta maaf untuk aksi kita yang menimbulkan persepsi dan reaksi yang di luar kemauan kita. Kedua jelaskan duduk persoalannya, bukan untuk membela diri, tapi untuk mendudukkan persoalan sesuai tempatnya dan mencari solusinya. Ketiga adalah mencari bantuan pihak ketiga yang netral untuk mediasi dan membantu menyelesaikan masalah ini. Repot kan? iya repot, itulah kenapa sejak kecil kita dikenalkan dengan petuah bijak "mencegah lebih baik daripada mengobati".
Yang patut diperhatikan adalah: "media sosial adalah ruang publik", di mana saat kita berbicara maka itu bermakna ditujukan kepada semua orang yang bisa membacanya. Itu prinsip utamanya, hati-hatilah di media sosial.
#NulisRandom 18
Sumber gambar: http://ayobergaul.blogspot.co.id/
Yang patut diperhatikan adalah: "media sosial adalah ruang publik", di mana saat kita berbicara maka itu bermakna ditujukan kepada semua orang yang bisa membacanya. Itu prinsip utamanya, hati-hatilah di media sosial.
#NulisRandom 18
Sumber gambar: http://ayobergaul.blogspot.co.id/