Ada beberapa puisi dan sajak yang dibacakan saat Perpustakaan Jalanan Bekasi menghelat "Sekadar Syukuran 1 Tahun Pelaksanaan Perpustakaan Jalanan Bekasi", malam Minggu 28 Juli 2018 kemarin.
Saya beruntung bisa mendapatkan 3 sajak atau puisi diantaranya, dan akan saya arsipkan dalam blog ini. Salah satu dari 3 sajak itu adalah sajak dari Bang Iwan Bonick sang pelopor Perpustakaan Jalanan Bekasi.
Saya beruntung bisa mendapatkan 3 sajak atau puisi diantaranya, dan akan saya arsipkan dalam blog ini. Salah satu dari 3 sajak itu adalah sajak dari Bang Iwan Bonick sang pelopor Perpustakaan Jalanan Bekasi.
Iwan Bonick yang saya kenal adalah seorang pencinta barang-barang tempoe doeloe, kalau sempat mampir di kios Asaldoe di Jl KH Agus Salim No 71A tempatnya sehari-sehari mangkal, maka kita akan menemukan jejeran barang-barang antik tempoe doeloe koleksinya.
Apakah koleksi barang antik itu dijual? Gak semua untuk dijual, tapi kalau mahar sesuai, siapa pun bisa membawa pulang koleksi barang-barang kuno dan antik yang dia kumpulkan dari mana saja. Saya selalu menyempatkan mampir sekadar numpang ngopi atau istirahat di kiosnya yang seperti museum mini.
Apakah koleksi barang antik itu dijual? Gak semua untuk dijual, tapi kalau mahar sesuai, siapa pun bisa membawa pulang koleksi barang-barang kuno dan antik yang dia kumpulkan dari mana saja. Saya selalu menyempatkan mampir sekadar numpang ngopi atau istirahat di kiosnya yang seperti museum mini.
Selain itu Bang Bonick (sapaan akrabnya) juga dikenal sebagai aktivis kesejarahan dalam Komunitas Historika Bekasi, mulai dari sepeda ontel sampai foto-foto Bekasi lama miliknya sudah berkeliling Bekasi dipinjamkan kepada siapa pun yang memerlukan saat ada acara terkait kebekasian.
Sajak ini ia posting di Facebook tanggal 30 Juli 2018, saya salin dan publish ulang sebagai arsip jika kelak kita mau kembali bernostalgia atau sekadar merenungi sajak yang ia lontarkan malam minggu lalu. Berikut selengkapnya sajak yang mungkin ia buat khusus untuk dipersembahkan dalam acara ini.
Menyusun huruf
Merangkai kata
Membuat kalimat
Walau mungkin tak bermakna
Kala saat tak disengaja
Tampaklah bentuk di sudut mata
Terlihat wujud di kolong meja
Terkadang terselip di antara meja
Tempat mengasikkan tetaplah di atas meja
Bila dia sendiri tak ada teman
Tak berarti rasanya diri
Kawannya pun sendiri
Hampa dan kosong
Suatu waktu dalam satu hari
Kita melihatnya
Bergeraklah menghampirinya
Lalu sentuhlah
Kita belai
Kita rayu
Cumbulah dia
Dengan rasa, karsa, cipta dan cinta
Kita bantu mencari temannya
Kita bimbing menemui temannya
Karena Mereka saling menanti
Potlot dan kertas putih
Sudah lama mereka berteman
Sudah lama mereka berkawan
Maka
Menulislah apa yang bisa kita tulis
Menulislah apa yang ingin kau tulis
Menulislah selagi bisa menulis
Menulislah tentang apa saja
Tak peduli ada yang membaca atau pun tidak
Tapi nanti akan menjadi yang dinanti
Setelah kita mati
Dan mereka menjadi berarti
Kp Teluk Angsan Bekasi. Sabtu Wage 28 Juli 2018
Dalam banyak acara, Iwan Bonick memang telah sering melontarkan puisi-puisi, baik karya sendiri mau pun karya orang lain. Ekspresinya saat membacakan puisi bisa mengingatkan kita pada Rendra Sang Burung Merak. Kadang suaranya melembut, kadang berteriak lantang menjiwai setiap bait sajak.
Lanjutkan terus karya dan kreasinya Bang Bonick, kali aja nanti puisi-puisi dan sajak karyamu dapat dibukukan sebagai salah satu potret perjalanan Bekasi dari waktu ke waktu dalam bentuk puisi, sajak atau lainnya... amin.
Salam.