Seumur hidup, baru kali ini saya menghadiri acara budaya yang lebih dikenal dengan istilah "Malam 1 Suro". Kepada ketua panitia yang mengundang saya sudah menyampaikan sebelumnya kemungkinan saya tidak bisa hadir karena dilaksanakan pada hari kerja, yaitu Senin 10 September 2018. Soal lokasi acara di kawasan wisata Rumah Joglo Puri Wedari Mutiara Gading City, Desa Babelan Kota, Kec Babelan Kab Bekasi ini tidak masalah karena tidak terlalu jauh dari rumah saya.
Setelah melihat kembali undangannya, ternyata acara Kirab Agung Pusaka Tarumanagara diselenggarakan pada malam hari, dan hari Senin saya ambil cuti karena selain harpitnas, rasa-rasanya sakit pinggang saya belum sembuh benar. Sepertinya saya memang harus hadir, karena acara ini secara waktu dan tempat memungkinkan untuk didatangi, akhirnya bersama teman-teman dari Cinong Bekasi saya berangkat ke lokasi, selain menjaga silaturahim, kiranya mudah-mudahan akan ada hikmah yang dapat saya ambil dari acara ini.
Tadi malam saat berlangsungnya Kirab Agung Pusaka Tarumanagara di kawasan wisata Rumah Joglo Puri Wedari Mutiara Gading City salah seorang pembicara menyampaikan, malam 1 Suro itu bertepatan dengan 1 Muharram, diperingati sebagai peringatan hijrahnya Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa sejarah hijrah meninggalkan Mekah menuju Madinah ini banyak memiliki arti yang sudah digali oleh pendahulu kita, salah satunya hijrah menuju keselamatan. Doa-doa keselamatan dan syukur kemudian dibacakan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sunda. Semoga ke depan semua akan menjadi lebih baik dengan memasuki tahun 1440 H, 1952 Saka/Jawa, Pabaru Sunda 1955 Caka.
Sebelum ditutup dengan pemotongan tumpeng, acara diisi dengan pencucian benda-benda pusaka dengan air "Tirta Kencana" yang menurut panitia bersumber dari 7 sumber mata air se-nusantara. Saya baru paham, dalam pandangan budaya, keris ataupun benda pusaka itu adalah perlambang diri pribadi pemiliknya, karenanya pencucian keris dengan segala prosesi puasa, 7 sumber mata air hingga pencuciannya adalah perlambang membersihkan jiwa raga agar kembali bersih dan menjadi lebih baik dari waktu sebelumnya.
Semangat yang diwariskan oleh para orang tua dalam memperingati peristiwa hijrah ataupun tahun baru ternyata lebih filosofis dari sekadar memasang petasan yang buang-buang uang. Sayangnya prosesi pencucian benda pusaka saat malam 1 Suro lebih diperkenalkan pada generasi sekarang sebagai hal yang mistis ataupun klenik. Saya kira ini menjadi "PR" buat para penggiat budaya untuk memperkenalkan dan mengemas acara seperti ini agar lebih menarik buat kalangan umum, setidaknya agar generasi sekarang dapat mengenal makna filofofis dan melestarikannya dalam kehidupan sesuai pemahamannya.
Soal mistis dan klenik itu menurut saya tergantung pribadi masing-masing pelakunya, saya tidak paham soal itu dan tidak mau berkomentar mengenai itu... tapi secara umum, setidaknya saya jadi tahu kalau prosesi pencucian benda pusaka juga memiliki semangat yang baik dan makna yang lebih masuk akal (buat saya).
Nuansa acara ini menurut saya pribadi lebih kental dengan unsur-unsur budaya Sunda, bukan hal yang aneh buat saya dan mungkin juga warga Bekasi pada umumnya. Bekasi secara keseluruhan selain masih termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat, Bekasi secara kultural juga memang dipengaruhi dua budaya dominan yaitu Betawi dan Sunda. Sesuatu yang dengan indah menyatu di Bekasi dan tidak perlu dijadikan bahan perdebatan.
Foto Bang Iwan Bonick |
Semoga acara ini dan juga acara kebudayaan lainnya dapat terus dilaksanakan oleh semua pihak agar terus memperkaya wawasan kebudayaan dan dapat menarik bagi para generasi muda Bekasi khususnya. Soal Tarumanagara saya kira memang sudah seharusnya digali terus dan disosialisasikan
Terima kasih kepada Padepokan Pusaka Parahyangan, ISPI Group, MGC, Karang Taruna Babelan Kota, dan seluruh pihak panitia penyelenggara yang saya tidak tahu sehingga tidak saya sebutkan.
Duduk bersila menikmati hidangan kopi, ubi dan kacang rebus serta suasana lokasi yang jauh dari keramaian membuat saya dapat lebih akrab dengan para hadirin lainnya. Sayang tidak bisa memotret lebih banyak karena terhalang tembok dan saya juga tidak mau menginjak rumput untuk sekadar mencari posisi yang bagus di belakang para fotografer dan wartawan yang sedang bekerja.
Soal letak Rumah Joglo Puri Wedari secara administrasi masuk ke dalam wilayah Desa Babelan Kota atau Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan atau Desa Setia Asih Kecamatan Tarumajaya saya belum tahu pastinya karena memang letaknya yang berada di perbatasan Kecamatan Babelan dan Kecamatan Tarumajaya. Pada acara Kirab Agung Pusaka Tarumanagara ini hadir Sekretaris Desa Babelan Kota, Anggota Karang Taruna dan Destana Babelan Kota sehingga membuat saya berasumsi bahwa lokasi Rumah Joglo Puri Wedari ini masuk ke dalam wilayah administrasi Desa Babelan Kota. Kalau salah yah nanti saya perbaiki :)
Lebih dan kurangnya atas opini saya di atas mohon dimaafkan. Salam.