Facebook yang terlambat diciptakan, atau saya yang terlalu cepat dihantam kegelisahan anak muda?
Seandainya saja saat muda dulu sudah ada Facebook (FB), mungkin saya tak perlu sampai mengalami gangguan jiwa nomor 21: selalu merasa gelisah dan sendirian, merasa sebagai makhluk pilihan sekaligus memiliki berbagai keterbatasan yang membuat keputusasaan mendera hati tak berkesudahan.
Anak muda sekarang beruntung sekali, tiap kali gelisah tinggal membuka halaman FB saja. Tentu saja tidak bisa menikmati suasana damai tenteram seperti di kota santri. Tetapi justru itu, hiruk-pikuk dan uaaneh-uaaneh isi FB akan membuat hati tenang. Ternyata saya tidak sendirian. Orang yang memiliki gangguan kejiwaan (dan bahkan lebih parah) jumlahnya banyak. Baanyyyaakkk....
Tidak perlu berkecil hati lagi. Welkam tu de klab!
Zaman saya muda, setengah mati mencari saluran katarsis semacam FB ini. Tapi saya beruntung bertemu dengan dua pahlawan penyelamat saya.
Yang pertama Dr. Damardjati Supadjar (semoga Allah memberikan tempat terbaik di surga-nya), guru besar Filsafat yang mengasuh acara Kaca Diri di Radio Unisi FM tiap hari Kamis malam. Kajiannya menenangkan hati. Dan tiap minggu saya tak pernah absen menitipkan pertanyaan ke resepsionis radio itu di Jalan Pasar Kembang.
Menurut Pak Damar, Tuhan menciptakan alam semesta ini sedemikian luas. Tetapi buat kita yang di bumi, dengan keterbatasan kita sebagai manusia, telah ditunjuk sebagai khalifah dan memiliki tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab yang tidak sanggup ditanggung makhluk Tuhan lainnya.
Manusia adalah tokoh utama di dunia ini. Dan sepanjang usia seorang manusia, masa muda adalah inti dari perjalanan hidupnya. Masa muda, terutama saat sedang jatuh cinta dan hati sangat mudah tersentuh oleh cahaya Ilahiah, adalah saat paling menentukan seperti apa "warna" raport kita sebagai seorang manusia.
Adalah sebuah kewajaran apabila anak muda mengalami kegelisahan dalam memahami "pengalaman keagamaannya". Bahkan justru aneh dan salah apabila orang muda justru menghindar dari pertanyaan-pertanyaan religius tentang diri dan Tuhannya.
O o o astagaaa | hendak kemana smua ini..
O o o astagaaa | apa yang sedangg terjadii..
Bila kaum muda tak mau lagi... peduli..
Mudah putus asa dan kehilangan... arah...
O o o astagaaa...
Oya, istri Pak Damar, seorang perempuan sederhana, punya warung Kupat Tahu Magelang di dekat Perumahan Merapi View, di kilometer 9 Jalan Kaliurang. Lumayan jauh dari kampus sebenarnya, tapi saya bisa mampir ke situ karena 2 kali dalam seminggu sempat numpang "ngantor" di LP3Y. Jalan Kaliurang Km 12,9. (lebih jauh lagi 😅).
Yang kedua, dr. Inu Wicaksana, Sp.KJ, psikiater senior RSJ Soerojo, Magelang. Jujur saja waktu itu saya enggak begitu paham juga, apa beda psikiater dengan psikolog. Kebetulan beliau cukup terkenal karena punya rubrik konsultasi di Harian Kedaulatan Rakjat. Dan, yang lebih penting lagi, karena beliau teman dari pembimbing skripsi pacar saya, beliau menolak dibayar! Mahasiswa zaman itu kan paling semangat sama yang gratis-gratis. Hahaha...
Lah ini, sudah gratis masih dibawain obat-obatan juga. Lama-lama gak enak juga...
Akhirnya saya bawain 1 slop rokok Gudang Garam Filter kesukaan beliau. Tentu saja beliau menolak, tapi saya memaksa.
"Saya kan konsultasinya di Mangunsarkoro, bukan di rumah dokter di Popongan. Di sini dokter bayar sewa tempat, bayar listrik, dan mengorbankan waktu praktek dokter. Tentu saja tidak fair kalo saya tidak memberikan kompensasi atas kerugian-kerugian tersebut...."
Dokter Inu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Rokok itu diterima. Dan dari wajah puasnya saya tahu kondisi saya ada kemajuan...😊
Pulangnya saya dibekali obat lebih sedikit.
"Semoga ini obat yang terakhir yang saya berikan. Diminum hanya apabila kesulitan tidur saja. Apabila sebulan tidak habis, buang saja obatnya dan kamu tidak perlu ke sini lagi."
Horeee... saya sudah sembuh!!!
Pesan terakhir beliau, normatif banget: atur pola makan, dan jangan terlalu berat memikirkan hal-hal yang "jauh" dan lebih cepat dalam mengambil keputusan atas hal yang praktis dan "dekat".
Sepertinya, ada hubungannya dengan masalah rokok tadi... 😅. Saya mungkin terlalu banyak pertimbangan bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya masalah remeh-temeh belaka.
Spontanitas lebih baik buat kesehatan jiwa. Jangan tiap mau ngomong harus menimbangnya dalam-dalam. Mencernanya 2 hari 2 malam, karena takut salah menarik kesimpulan. Ashiappp!
Tapi juga jangan spontan berlebihan. Seperti postingan FB akhir-akhir ini, nanti malu sendiri karena harus mengoreksi. Jejak digital itu kejam, Jenderal!
Menurut WHO, 25% warga mengalami gangguan jiwa. Dan sepertiganya ada di negara berkembang. Wahhh..😱
Jadi kalo kamu berkumpul dengan 3 orang temanmu, maka salah satu di antara kalian adalah pengidap gangguan jiwa!
Kalo saya orang keempat di antara kalian, maka yang merupakan pengidap tentu salah satu dari kalian. Karena saya sekarang sudah sembuh. 😍
Wkwkwk....
Tetapi merasa diri memiliki akal dan jiwa yang sehat, dan menuduh orang lain yang memiliki masalah, justru menandakan bahwa orang itu mengidap gangguan jiwa yang lebih parah dari gangguan jiwa nomor 21.