Saya berjumpa dan belajar paham istilah Qanaah ini bukan di RSUP Dr. Sardjito, tempat saya jualan koran, atau di Masjid Mardiyyah, selatan RSUP, tempat saya ikut bintal 2 kali seminggu. Melainkan di Toko Bali, arah ke selatan lagi dari Masjid Mardiyyah. (*Letak Toko Bali tepatnya di Jl. Kesehatan Sendowo, Senolowo, Sinduadi, Mlati, Kabupaten Sleman Jogja)
Ibu pemilik Toko Bali penganut agama Hindu. Dari ornamen toko dan hiasan di halamannya, orang langsung paham. Setiap siang, sekitar 1,5 jam, toko ini menutup pintunya dari pembeli.
"Apakah tidak rugi, Bu, menutup toko di saat jam ramai pembeli di siang hari?" tanya saya.
"Rejeki sudah ada yang mengatur, Mas. Saya percaya kepada Dzat Yang Maha Mengatur."
"Maksud saya, ibu kan bisa saja istirahat, operasional toko diserahkan kepada bawahan yang bisa dipercaya untuk sementara, sehingga potensi pemasukan dari pembeli dapat dioptimalkan?"
"Buat apa? Lebih baik toko tutup agar semuanya bisa beristirahat. Dan selama ini hal itu tidak membuat kami kekurangan rejeki, kok."
Wah, jleb banget ya?, sementara saya begitu "ngoyo" mencari uang, yang tetap saja terasa kurang, kurang dan kurang.
Dalam literatur Islam, kemudian saya tahu bahwa Allah tidak menempatkan "kekurangan/kemiskinan" sebagai partner dari "kekayaan", melainkan "kecukupan". Qanaah secara sederhana dapat dimaknai sebagai "merasa cukup dengan apa yang diberikan Tuhan".
Mengapa orang sulit merasa cukup saat ngomongin uang?
Salah satu yang dikritik ibu pemilik toko itu adalah pergeseran fungsi atas uang itu sendiri. Manusia sekarang lupa, bahwa uang itu sesungguhnya diciptakan hanya untuk mempermudah proses tukar menukar komoditas (barter).
Kondisi semakin rumit saja, ketika kemudian uang yang semula setara dengan nilai intrinsiknya (uang emas, perak, perunggu yang nilainya setara dengan bahan pembuatnya), diubah menjadi uang yang dibuat dari logam atau kertas yang nilainya tidak setara dengan nilai bahan pembuatnya.
Uang yang semula hanya alat, perlahan berubah menjadi monster yang sedemikian berkuasanya atas manusia. Seolah semua sumber daya harus dikerahkan demi sejumlah uang. Padahal, seharusnya bukan seperti itu.
Selanjutnya, pikir sendirilah, malas saya nulisnya...
Saya lanjutkan tentang Qanaah saja. Pemahaman saya 20 tahun yang lalu ternyata bias, gara-gara saya menemukannya di Toko Bali yang dekat dengan Masjid Mardiyyah, selama sekian lama saya mengira, sifat Qanaah ini merupakan salah satu sifat utama yang menjadi ciri tingkatan Nafsul Mardiyyah!
Belakangan, setelah agak rajin ngaji di Yutub dan Wikipedia, saya jadi malu sendiri, ternyata Qanaah, bersama-sama dengan sifat pemurah dan gemar bersedekah merupakan ciri tingkatan paling bawah nafsu yang baik, yaitu Nafsul Mulhamah.
Nafsul Mardiyyah mah jauhh, Bro... Posisinya hanya setingkat di bawah Nafsul Kamilah-nya para Nabi dan Rasul. Dan setingkat di atas Nafsul Radhiyah-nya para wali (yang melakukan sesuatu dengan ridho, tanpa pamrih).
Dan sebelum sampai Nafsul Radhiyah, ada satu tingkatan lagi yang mesti dilalui yaitu Nafsul Mutmainah, yang bercirikan amal saleh (kebajikan kepada semua makhluk), serta memiliki sifat dermawan, tawakkal, ibadah, syukur dan ridho.
Hmmm, jauh benar jalan yang harus ditempuh....
Semoga tidak lebih jauh dari rasi bintang Virgo: 55 juta tahun cahaya! 😱
Ingatkah engkauu kepadaaa/ Embun pagi berrsahajaaa/ Yang menemanimuuu sebelum cahaya....
Ingatkan engkauu kepadaaa/ Angin yang berhembus messraaa... / Yang kan membelaimuuu... cintaaa.
Di Toko Bali, saya tidak menitipkan koran jualan saya (karena sudah ada orang lain yang nitip duluan). Di toko itu saya hanya menitip-jualkan keripik singkong. Konsinyasi, istilahnya.
Makanan ringan ini diproduksi oleh seorang mahasiswi Fakultas Biologi, yang kelak di kemudian hari menjadi teman sejalan saya mempraktekkan sifat Qanaah ini dalam kerasnya kehidupan. Dan hangatnya cinta.
***
Penulis; Heri Winarko