Debat KMP vs PMK terkait Adanya Indikasi Pembeli Bakmie "Siluman" akhirnya terang-benderang juga. Sebagai penjual bakmie saya dituduh melakukan penggelembungan jumlah porsi bakmie terjual di lapak saya.
Datanya sebagai berikut:
Hari Minggu lalu, saya menjual 175 porsi bakmie, 6 hari kemudian (Hari Sabtu) terjadi peningkatan jumlah pembeli sehingga berhasil terjual 217 porsi.
"Tidak mungkin, hanya dalam waktu tak sampai seminggu terjadi peningkatan jumlah pembeli hingga menambah porsi bakmi terjual hingga 42 porsi!" demikian protes dari Komunitas Mie Pangsit (KMP). Saya dituduh melakukan penggelembungan jumlah porsi terjual. Minimal, terindikasi menjual bakmi kepada pembeli "siluman".
Baiklah, meskipun hanya dapat nilai C di mata kuliah "Filsafat Logika" di Akademi Bakmie Nusantara, sepertinya saya bisa menjelaskan tuduhan ini.
Buat saya sebagai penjual bakmie, terus terang tidak menjadi masalah apakah pembeli saya dari KMP (yang akan membeli bakmie pangsit) ataukah dari PMK (Pemggemar Mie Komplit, yang pasti akan memesan bakmie komplit). Makin banyak yang beli artinya makin sukses saya berjualan. Makin banyak keuntungan yang saya dapatkan.
Protes KMP beberapa waktu sebelumnya, terkait harga jual yang dinilai tidak adil sudah saya klarifikasi juga. Intinya, saya tidak mengambil keuntungan berlebihan atas bakmie yang saya jual. Bakmie pangsit Rp 13.000/porsi. Bakmi komplit Rp 15.000/porsi. Bedanya pada 2 butir bakso saja seharga Rp 1.500/butir.
KMP minta harga bakmie komplit Rp 16.000 agar terjadi keadilan. Tentu saja saya tidak dapat memenuhinya. Penentuan harga merupakan hak prerogatif saya sebagai penjual. Bukan berarti saya pro-PMK lho... Meskipun seolah-olah ada keistimewaan karena ada diskon Rp 1.000.
Kepada KMP saya berikan solusi, silakan menambah menu 2 butir bakso di pesanan bankmie pangsit mereka, dan akan saya kasih harga total khusus Rp 15.000/porsi. Tetapi mereka menolak mentah-mentah.
"Menambahkan 2 butir bakso akan merubah bakmi pangsit kami menjadi bakmie komplit. Kami tidak mungkin melakukan hal absurd yang akan mengurangi jumlah porsi terjual bakmie kesukaan kami!"
Ya sudah. Lagipula sebagai penjual saya tidak berhak mengatur-ngatur selera pembeli seperti itu. Persis yang saya katakan sebelumnya. Saya hanya peduli dengan jumlah bakmie yang terjual, tidak masalah buat saya bakmie mana yang lebih banyak terjual. Silakan memesan sebanyak-banyaknya. Pasti saya layani karena stok selalu tersedia. Manajer stok saya mumpuni, lulusan S3 dari Aussie, lho...
Sampai di sini, paham kan?
Jika belum paham, saya coba pakai ilustrasi yang populer saja deh.... Pilpres 2019.
Penjual bakmi = Komisi Pemilihan Umum.
KMP (komunitas mie pangsit) = Pendukung Pak Prabowo, dan
PMK (penggemar mie komplit) = Pendukung Pak Jokowi.
Jumlah bakmi terjual = jumlah surat suara sah
Jumlah bakmie terjual hari Minggu = jumlah surat suara sah Pilkada 2018
Jumlah bakmie terjual hari Sabtu = jumlah surat suara sah Pilpres 2019.
Jadi, seperti bakmi yang lebih banyak terjual di Hari Sabtu, jumlah surat suara sah yang lebih banyak di Pilpres 2019 lebih tepat dibaca sebagai kenaikan animo masyarakat untuk mengikuti Pemilu. Masyarakat lebih antusias nyoblos di Pilpres 2019 dibandingkan saat Pilkada 2018.
Tentu saja banyak faktor penyebabnya. Gencarnya pemberitaan tentang Pilpres, emosi yang teraduk-aduk karena pertarungan yang sedemikian brutal di media massa dan media sosial, serta polarisasi Islam Tradisional vs Islam Puritan barangkali bisa disebut sebagai contohnya.
Sama dengan bakmie saya yang lebih banyak terjual di Hari Sabtu, mungkin karena cuaca yang dingin-dingin-embun di antara hujan yang malu-malu. Mungkin juga karena banyak yang bermalam minggu di Hari Sabtu. Mungkin juga karena ada pertandingan sepak bola di Hari Sabtu.
Untuk penjual bakmi, makin banyak porsi yang terjual makin besar keuntungan yang dapat diraup. Untuk KPU, makin tinggi partisipasi masyarakat justru menunjukkan semakin berhasil sosialisasi yang telah dilakukan.
Harusnya diacungi jempol atas kerja kerasnya tersebut dan bukan malahan dituduh mencurangi Pilpres karena tingkat partisipasi masyarakat yang meningkat.
Lagipula kenapa yang dijadikan sampel Jawa Tengah, bukan Aceh atau Sumatera Barat? Kenapa yang dijadikan dasar perbandingan kok jumlah surat suara sah dan bukannya DPT?
Wah, sepertinya saya punya bakat terpendam jadi komisioner KPU, selain bakat jualan bakmie...
Hihihi...
Heri Winarko. Bogor, 14 Mei 2019.