Siswa Pencinta Alam SMA Sekolah Rakyat Babelan semprotkan disinfektan |
Saat wabah Covid-19 merebak semakin dekat, banyak yang fokus pada aset yang kelihatan: seperti masker, hand sanitizer, disinfektan dst. Padahal masyarakat punya aset yg tidak terlihat, saat ini sudah mulai tergerak melakukan apa yang perlu dilakukan untuk mempertahankan atau menjaga lingkungannya.
Apa yang menggerakkan pemuda-pemuda kampung untuk cepat membuat dan menyemprotkan disinfektan ke lingkungan mereka sendiri kalau bukan semangat solidaritas dan kepekaan sosial?
Gotong royong, solidaritas, kesetiakawanan sosial dan semacamnya ini yang mereka miliki.
Jangan bicara tentang social distancing dan work from home melulu, tapi berikan mereka pemahaman yang baik bagaimana mencegah penyebaran covid dan apa yang harus dilakukan saat ada warga yang terlanjur terjangkit covid. Masyarakat akan mengadaptasi dan merumuskan solusinya sendiri sesuai dengan kemampuan mereka.
Kebijakan #dirumahsaja belum tentu cocok buat sebagian orang karena banyak sebab. Salah satunya falsafah "makan tidak makan asal kumpul", yang diakui atau tidak memiliki turunan falsafah "hidup atau mati tetap kumpul". Ini yang akan menyulitkan masyarakat mencerna kebijakan "Jaga Jarak", dibutuhkan banyak usaha untuk membuat masyarakat paham dan mau melakukannya.
Jika pemahaman "jaga jarak" dan kesadaran akan bahaya covid sudah baik, maka aset tidak kelihatan yang dimiliki masyarakat seperti organisasi-organisasi kepemudaan bahkan sampai kelompok arisan akan sangat membantu pemerintah untuk menanggulangi efek pagebluk ini.
Pemerintah daerah harusnya sadar bencana ini tidak dapat ditangani sendirian, saat inilah waktunya untuk merumuskan di bagian mana masyarakat wajib melindungi diri mereka sendiri dan dibagian mana dapat berperan aktif menjaga lingkungannya. Tentunya hal itu dibarengi dengan peran pemerintah memfasilitasi minimal membangun skema penanggulangan yang "nyambung" antara masyarakat dan otoritas kesehatan pemerintah daerah.
Saya kutip opini dari Dr. Syahganda Nainggolan selaku Ketua Dewan Syuro Serikat Buruh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) 98 dari salah satu media.
"Jika orang miskin kesulitan mendapatkan bantuan makanan dan obat-obatan dari pemerintah, misalnya, mereka dapat bekerjasama dengan Masjid dan lembaga amil zakat, bahkan gereja dan LSM. Semua hak orang miskin yang ada di kenclengan masjid, sudah wajib dipakai. Solidaritas kemanusian bangsa ini diuji saat sulit datang atau akan datang.
Situasi saat ini adalah situasi pandemik. Virus tidak mengenal pro Jokowi atau anti Jokowi. Apalagi pilpres sudah lama usai. Kita harus memikirkan nasib orang miskin, yang menurut South China Morning Post paling beresiko jika lonjakan kasus terjadi. Orang miskin tidak mempunyai tabungan untuk bertahan hidup. Tidak punya rumah layak. Tidak mengerti banyak melawan atau mencegah datangnya coronavirus itu.
Oleh karenanya, orang miskin harus memikirkan pembentengan diri mereka, secepatnya. Serikat buruh, organ serikat petani, organ miskin kota, masjid, gereja, LSM dan lain-lain harus mulai menggalang persaudaraan orang miskin ini. Mitigasi risiko harus sudah dikaji, lebih awal.
Pemerintah mungkin akan datang menolong orang miskin keluar dari resiko tersebut. Namun, jika pertolongan itu datang terlambat, akibatnya akan fatal. Oleh karenanya, sekali lagi, bersatulah kaum miskin, selamatkan diri kita sendiri. Kita berterima kasih dengan ulasan South China Morning Post itu, sebagai pengingat bahaya di depan."
http://www.teropongsenayan.com/110357-bersatulah-orang-miskin-selamatkan-diri-dari-corona 17 Mar 2020 [Akses 25 Maret 2020]
Kalau Dr. Syahganda Nainggolan menggunakan istilah "orang miskin" saya memahaminya dengan definisi golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang akan menderita risiko paling berat saat lonjakan pandemi corona ini menyerang mereka.
Jika otoritas keamanan masih saja melarang masyarakat kelas menengah ke bawah ini untuk mengambil tindakan-tindakan preventif dengan menggunakan aset tidak kelihatan yang mereka miliki, ini sama saja membiarkan masyarakat masuk ke dalam skema "Herd Immunity" yang ditentang beberapa kalangan.
Mengenai skema Herd Immunity saya kutipkan dari salah satu artikel CNN:
Dikutip dari MIT Technology Review, herd immunity pada virus corona bisa terbentuk ketika sudah cukup banyak orang yang terinfeksi SARS-CoV-2. Artinya, virus terus dibiarkan menyebar sehingga banyak orang terinfeksi dan jika bertahan hidup akan kebal.
Sehingga jika sudah begitu, wabah akan hilang dengan sendirinya. Sebab ketika banyak orang yang kebal, virus akan semakin sulit menemukan inang yang rentan dan penyebaran akan berhenti secara alami.
Kekebalan pada seseorang muncul saat terinfeksi virus, lalu sembuh ketika sistem kekebalan tubuh berhasil melawan virus tersebut. Orang tersebut akan kebal terhadap virus karena sistem imun mereka sudah memiliki antibodi untuk melawan virus.
Namun, konsep ini dinilai mengerikan karena akan membiarkan banyak orang terinfeksi lebih dulu dan akan banyak pula orang yang meninggal dunia. Untuk bisa mencapai herd immunity, para ahli memperkirakan dibutuhkan lebih dari 50 persen populasi yang terinfeksi.
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200323192149-255-486231/mengenal-herd-immunity-cara-yang-disebut-bisa-tekan-covid-19 [Akses 25 Maret 2020]