Penggiat Kesenian Ketimpring Betawi Sembilangan Generasi Ke-8 dan 9 |
Sudahkah kalian tahu bahwa di Kampung Sembilangan Bekasi juga memiliki kesenian Ketimpring Betawi?
Kesenian Ketimpring merupakan warisan dari leluhur Kampung Sembilangan yang masih terpelihara dan dikembangkan hingga kini. Ketimpring menjadi salah satu alat kesenian yang masih sering dipakai untuk acara-acara tertentu khususnya di wilayah Kampung Sembilangan Kecamatan Babelan dan Tarumajaya Kabupaten Bekasi.
Ketimpring adalah satu jenis rebana kecil yang terbuat dari kayu dan memiliki kecrek terpasang pada bagian badannya. Diameter ketimpring rata-rata berukuran 20 sampai 25 cm. Dalam satu grup ada tiga buah rebana. Ketiga rebana itu mempunyai sebutan, yaitu rebana tiga, rebana empat, dan rebana lima. Rebana lima berfungsi sebagai komando. Sebagai komando, rebana lima diapit oleh rebana tiga dan rebana empat.
Istilah Ketimpring Betawi konon berasal dari ketukan yang menghasilkan bunyi nyaring, walau demikian ada juga jenis ketimpring yang disebut dengan Hadroh.
Di Sembilangan, para penggiat kesenian Ketimpring Betawi sudah termasuk ke generasi yang ke 9 seperti foto di atas. Merekalah yang masih terus menjaga, melestarikan seni musik Ketimpring sampai saat ini.
Banyak nama dan jenis permainan Ketimpring Betawi yang jarang diketahui orang-orang, termasuk gaya memainkannya. Beberapa jenis cara memainkan ketimpring antara lain:
- Pukulan Melayu;
- Cang Kotek;
- Cang Sihir;
- Cang 1;
- Cang 2;
- Cang Gambus;
- Cang Sorong;
- Cang Rogof;
- Cang Keprak;
- Tengtong;
- Tukse;
- Selambe;
- Sertajati dan seterusnya.
Kenapa selalu diawali kata Cang? Kalian pasti bertanya-tanya mengenai hal ini. Cang adalah nama panggilan yang diberikan anak muda untuk yang tua di kalangan Suku Betawi.
Ketimpring dan Hadroh itu berbeda, cuma orang-orang tidak terlalu paham di mana letak perbedaan antara keduanya. Pukulan dan pemain jenis Ketimpring dan Hadroh itu tidak sama. Bisa juga semua tergantung ide dan kreasi masing-masing para pemain. Ketimpring memiliki banyak pukulan seperti disebutkan di atas, sedangkan bunyi Hadroh hampir sama dengan pukulan Tengtong. Konon cukup 2 orang untuk pemain hadroh dan 3 atau lebih untuk pemain Ketimpring.
Sejarah Kesenian Ketimpring Betawi di Sembilangan Bekasi
Di Kampung Sembilangan, kesenian Ketimpring sudah ada sejak dulu. Kesenian musik rebana ini menjadi salah satu ciri khas dan budaya orang-orang tua semasa itu. Rutin dilaksanakan dan dijadikan sebagai hiburan dan selingan saat ada acara besar dan acara keagamaan seperti saat Maulid, Asrofal Annam, acara arak-arakan pengantin khitan atau pengantin pernikahan. Sedangkan lagu yang dibawakan untuk sholawatan biasanya bernada Sikah, Ross Hijaz , Nahawan dan lain-lain.
Dulu, Ketimpring bukan hanya untuk pengarakan pengantin saja, ketimpring juga mengisi acara arak-arakan murid khataman Qur'an di madrasah tempo dulu. Dilakukan pada malam hari sebelum mereka membaca khataman, sambil menaiki perahu dan mengelilingi sungai atau kali di lingkungan Kampung Sembilangan. Tapi sekarang hal seperti demikian sudah tidak ada lagi, mungkin tradisi ini perlu dicoba untuk kembali dihidupkan agar Ketimpring dapat lebih dikenal lagi.
Berikut video latihan Kesenian Ketimpring Betawi ala Kampung Sembilangan Bekasi
Dulu, Ketimpring bukan hanya untuk pengarakan pengantin saja, ketimpring juga mengisi acara arak-arakan murid khataman Qur'an di madrasah tempo dulu. Dilakukan pada malam hari sebelum mereka membaca khataman, sambil menaiki perahu dan mengelilingi sungai atau kali di lingkungan Kampung Sembilangan. Tapi sekarang hal seperti demikian sudah tidak ada lagi, mungkin tradisi ini perlu dicoba untuk kembali dihidupkan agar Ketimpring dapat lebih dikenal lagi.
Berikut video latihan Kesenian Ketimpring Betawi ala Kampung Sembilangan Bekasi
Ada beberapa hal yang membuat ketimpring kurang diminati. Saat semua semakin canggih dan semakin berkembang, orang-orang lebih menyukai sesuatu yang baru dan lebih modern. Inilah yang menjadi kendala dalam mengembangkan budaya lokal ini menjadi minim peminat, hanya ada sebagian orang saja yang bersedia untuk mempelajari dan melestarikan kesenian Ketimpring Betawi ini.
Bapak Muhammad Syarifudin (35), salah satu warga Kp. Sembilangan yang juga pemain Ketimpring berharap agar generasi muda mau mengenal, belajar, melestarikan dan meneruskan kesenian ini sebagai regenerasi.
"Melestarikan dan mengembangkan seni budaya tidak harus dilakukan oleh orang tua saja, anak muda juga harusnya ikut melestarikan. Kita semua seharusnya berperan aktif melestarikan apa yang diwariskan para pendahulu dan menjadi identitas budaya kita. Buat para pemuda Kampung Sembilangan, saya harap bisa meneruskan kesenian Ketimpring Betawi ini," ungkap ayah 3 anak yang dikenal dengan sapaan Cing Idin atau Nimek bagi yang sebayanya.
Bapak Muhammad Syarifudin adalah salah satu sesepuh kesenian Ketimpring Betawi yang darinya pemuda sembilangan belajar memainkan alat musik pukul ini, selain beliau ada juga Bapak Jahroin dan Ahmad Sahil. Mereka bertiga adalah generasi terakhir yang belajar Rebana Qasidah dan Ketimpring Betawi turun temurun dari pembawa pertamanya ke Kampung Sembilangan yaitu Almarhum Kong Haji Ismail Aliyas sepulang beliau mondok di MTS Jamiat Kheir, Tanah Abang Karet, Jakarta sekitar tahun 1950-1954.
Salah seorang pemain kesenian Hadroh dari Majelis Sholawat Nurul Lail Sembilangan yang mempelajari Ketimpring Betawi mengaku kesulitan menguasai jenis-jenis pukulan Ketimpring. Menurut mereka banyak jenis pukulannya. Namun mereka masih terus mencoba mempelajarinya dari para pemain yang kini jumlahnya semakin sedikit.
Penggiat Kesenian Ketimpring Betawi Sembilangan |
----
Catatan Tambahan mengenai Ketimpring Betawi
Dalam Essay Paper Iwan Paul, seorang pemusik yang mendalami musik perkusi, Rebana Ketimpring Betawi menurut catatannya menggunakan tiga buah rebana yang dimainkan, yaitu;- Rebana tiga;
- Rebana empat; dan
- Rebana lima.
Di Kampung Sembilangan tiga rebana itu biasa disebut pukulan atau rebana 4, 5 dan 6, dan umumnya rebana 6 sebagai penghulu (patokan/komando) namun dalam beberapa irama kadang rebana 5 menjadi penghulu)
Dari satu contoh musik Rebana Ketimpring yang ia pelajari, lagu yang dinyanyikan pada dasarnya disusun dari tangga nada mayor. Namun di beberapa bagian digunakan nada-nada minor harmonik dari tonik yang sama.
Nada-nada utama lagu dinyanyikan dengan menggunakan cengkok seperti yang biasa terdengar di lagu-lagu dari Timur Tengah, atau yang sering kita dengar dalam permainan gitar oud, terutama di beberapa bagian yang ingin diberi aksentuasi seperti di awal atau akhir kalimat musik (phrasing). Ciri lain dari vokalisasi lagu ini juga tampak pada penggunaan glissando dari satu nada ke nada lain.
Lagu inti yang dimainkan sebetulnya cukup pendek, yaitu 8 bar bagian A dan 8 bar bagian B. Namun lagu itu diulang berkali-kali dengan banyak variasi ritmik dan pukulan rebana, termasuk di beberapa pengulangannya hanya dinyanyikan tanpa iringan permainan rebana.
Secara irama, permainan tiga rebana dalam Rebana Ketimpring masing-masing mengambil pola ritmik yang berbeda namun saling bertautan satu sama lain. Di beberapa bagian terdengar ada pemain rebana yang memainkan not 1/8 dan 1/16 sementara pemain rebana yang lain memainkan not sixtuplet 1/4. Aksentuasi ritmik juga dimainkan di beberapa tempat, biasanya di ketukan upbeat seperti 2-en dan 4-en.
Perpaduan ritmik yang cukup kompleks ini menjadikan musik Rebana Ketimpring terdengar sangat dinamik dan menarik.
Dengan penggunaan rebana dan lagu-lagu dengan syair Islami, Rebana Ketimpring bisa jadi masih satu rumpun dengan musik-musik khas Melayu yang banyak berkembang di Sumatera dan Semenanjung Malaysia, khususnya daerah-daerah yang dalam sejarahnya banyak terpengaruh agama Islam dan budaya Timur Tengah. Namun, dalam perkembangannya musik ini telah diadopsi dan menjadi bagian dari ritual dan budaya khas masyarakat Betawi termasuk di Kampung Sembilangan Desa Samudrajaya Kecamatan Tarumajaya dan Desa Hurip Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi Jawa Barat.
Naskah: Iphii & Bisot
Narasumber: Bapak Muhammad Syarifudin, A. Sahil, Jamiludin
Foto: Rahmat Hidayat