~ Ning ~
"Apa kamu gak sayang sama anakmu ini Ning?. Dia butuh kamu, nduk. Ayolah sehat. Kasian, siapa yang mau menyusuinya kalo bukan kamu?." Katijah meratap kelu. Dipandanginya putri satu-satunya yang belum genap 2 pekan melahirkan anak pertama.
Ning melahirkan putri kecilnya dengan pertolongan bidan kampung di rumah bilik orangtuanya, Katijah dan Wariyo, sepasang suami istri miskin di Dusun Waduk Rejo, Jawa Tengah.
Putri Ning lahir selamat, sehat tak kurang suatu apa. Tapi sejak dua hari pasca melahirkan, Ning yang awalnya baik-baik saja mendadak diserang penyakit aneh. Tubuhnya dingin seperti es. Bibirnya membiru, wajahnya pucat seperti tak ada darah yang mengalirinya.
Ning juga sering kehilangan kesadaran. Bahkan ketika 3-4 jam sadar pun, Ning tak mampu bangun apalagi melakukan apapun. Tubuhnya kurus kering karena nyaris tak ada nutrisi yang masuk kecuali infus yang didapati Katijah dari kebaikan mantri desa yang menjadi mertua kakak laki-laki Ning.
"Walah, piye yo...?," kata Katijah menggantung.
Supono tersenyum, "Wis ojo dipikir. Dokter' e mrene ora njaluk bayaran, Mbak," seperti paham yang akan apa yang menjadi pikiran Katijah.
"Matur suwun sanget lho Mas Pon." Kata Katijah menundukkan wajah tak berani menatap mata Mantri Supono karena malu.
Siang tengah hari, warga dan kerabat di sekeliling rumah Ning gempar. Jam 9 pagi tadi Ning koma. Mati suri. Tubuhnya didapati dingin dan kaku, seperti tak punya tanda-tanda kehidupan. Katijah histeris. Wariyo tergugu sambil mendekap bayi Ning di balik sarungnya. Airmata lelaki tua itu mengalir tak terbendung.
Tetangga dekat berdatangan. Wajah mereka menyiratkan warna yang sama, kesedihan. Suara-suara yang bersahutan, mengguncangkan tubuh kaku nyaris tanpa detak nadi, sambil mengucap mantra serupa. "Ning.... bangun."
"Ayo Ning... bangun....." sebuah suara menyadarkan Ning. Dia seperti berada di sebuah ruang yang luas namun terbatasi dinding-dinding transparan yang entah mengapa sempat membuatnya sesak dalam ketakutan.
Ning menoleh ke arah suara. Seorang perempuan yang serupa wajah dan perawakannya dengan dia. Tapi Ning tak merasa terkejut.
Senyumnya pias. "Saya ada di mana?," tanyanya.
Perempuan yang serupa dirinya itu hanya tersenyum, sambil menarik tangan Ning. Ning merasa ia segera bangun. Lalu berjalan bersamaan dengan perempuan itu. Tidak, Ning tidak seperti berjalan. Tapi seolah melayang.
Perempuan itu mengajaknya berwisata. Ke sebuah tempat yang belum pernah Ning datangi sebelumnya. Kadang ia seolah berada di ruang hampa yang tak memiliki dimensi waktu. Lalu membelah padang rumput yang tak terlihat batasnya. Melayang di atas permukaan sungai yang tak terlihat tepiannya, tapi ia bisa melihat banyak orang yang berdiri dan beraktivitas di sepanjang sungai yang airnya jernih laksana cermin.
Ning tak tau, sudah berapa lama ia berjalan, ia tak merasakan lelah. Lalu tibalah ia di sebuah kebun yang luasnya tak terhingga. Di jalan yang membelah kebun, Ning bisa menyaksikan dengan teramat jelas, pohon-pohon di kebun itu tengah berbuah dengan lebatnya. Di depannya, atas juga kanan kirinya, tanaman-tanaman itu amat menggiurkan. Tapi Ning tak punya selera sama sekali. Ia hanya merasa kagum hingga terpana. Entahlah.
"Tempat apa ini?," tanya Ning terpesona. Perempuan itu hanya tersenyum. Lalu menggamit bahunya. Entah mengapa tetiba ia sudah ada di sebuah pintu gerbang yang sangat tinggi. Dengan gembok emas yang sangat besar.
Perempuan itu tersenyum ,"Aku mengantarmu hanya sampai di sini ya," ucapnya ramah.
Belum sempat Ning menjawab, perempuan itu menghilang. Tapi Ning tahu, ia menginjak ujung ibu jari kaki Ning. Terasa sakit luar biasa. Ning mengerang. Tapi ternyata hanya suara pelan dan parau yang terdengar.
Ning sadar, ibu jarinya digigit dengan keras oleh tetangganya, teman mainnya semasa kecil, Kadiman. Darah mengucur keluar dari jari kaki Ning.
Nanar Ning melihat orang-orang sekelilingnya berkumpul dalam keadaan menangis terisak. Ning heran, tak tahu apa yang terjadi. Ning melihat sang ibu sembab dan terlihat lelah. Ahh, Ning merasa bersalah. Tubuh lemahnya terasa kian dingin.
"Jadi begini Bapak dan Ibu, saya menyarankan supaya Mbak Ning diperiksa oleh orang soleh di sini. Saya dan Pak Supono akan mengupayakan kesembuhan Ning lewat cara medis. Hanya saja kita mencoba ikhtiar dengan cara pengobatan lain yah. Semoga diberi kemudahan." Samar suara Dokter Wahyu sore itu di ruang tengah. Dokter yang sudah sepuh itu memeriksa Ning dengan seksama. Ia melihat ada sesuatu yang tak biasa terjadi dengan diri perempuan muda itu.
Esok paginya, oleh Pak Supono, didatangkanlah Kyai Arief Hasan. Seorang tokoh agama sekaligus pemimpin pondok pesantren dari kampung sebelah. Lelaki tua dengan jenggot yang telah memutih itu memandangi Ning dengan teliti. Sesekali tangannya menyentuh kaki Ning yang pucat dan dingin.
"Inggih, Kyai," Ayah Ning tunduk.
"Kamu punya anak perempuan berapa?, " tanya Kyai Arief.
"Satu, Kyai. Lha Ning Meniko." Jawab Wariyo.
Kyai Arief tersenyum. "Coba diingat-ingat lagi."
Wariyo terdiam. Berfikir sejenak. Dan seolah teringat sesuatu, Ia terlonjak.
"Ya Allah Gustiiii, inggih pak Kyai. Saya pernah punya anak perempuan. Sebelum Ning. Tapi dia keguguran waktu baru 5 bulan dalam kandungan."
"Lha, sampeyan kubur janin anak mu di mana?."
Wariyo menunjukkan sebuah titik di belakang dapur. Lalu ia segera menangis tergugu.
Pasca Ning melahirkan, Wariyo tak tega Ning harus mandi di sungai seperti kebanyakan penduduk kampung Tegal Rejo. Sungai itu jauhnya sekitar 100 meter dari gubuk orang tuanya. Lantas, Ia membuat "kamar mandi" darurat untuk Ning. Tepat di atas tanah yang menjadi makam janin bayi lima bulan kakak perempuan Ning.
Kyai Arief meminta Wariyo memindahkan makam anak perempuannya itu.
"Pindahkan ya, Yo. Biar gak sembarangan lagi njenengan. Jangan lupakan dia. Jangan sampe kamu atau istrimu tidak pernah mendoakan dia sama sekali. Dia itu anakmu juga. Dia sempat bernyawa."
Wariyo dan Katijah menangis. Antara sedih tapi juga lega. Teka-teki "penyakit" Ning sudah diketahui penyebabnya. Mereka menyesali diri juga, mengapa sampai bisa lupa dengan keberadaan anak perempuan mereka dahulu.
Sebuah prosesi dilakukan. Makam janin itu dipindahkan. Sekaligus pemberian nama, Siti Aisyah. Dilanjutkan dengan acara kirim doa yang dilakukan keluarga dan tetangga sekitar rumah.
Sehari berikutnya, kondisi Ning berangsur pulih. Tubuhnya mulai segar. Sudah mampu duduk untuk menyusui bayinya, Siti Khadijah.
Suatu sore, saat Ning memangku sang bayi di teras rumah, Ning melihat sesosok anak kecil tersenyum di depannya. Ning tersenyum membalasnya.
"Kita akan sama-sama lagi nanti ya. Baik-baik kamu di sana. Saya akan segera menyusul kamu." Ning seolah berkata-kata.
Perempuan kecil itu tersenyum ceria padanya. Lalu datang menghampiri Ning dan menciumnya.
"Aku tunggu ya," sambil melangkah pergi dengan riang.
Ning tersenyum. Sumringah.
Penulis: Sri Suharni