Sore ini hujan. Gak lebat sih, tapi cukup bikin basah jalanan. Kuputuskan gak pake jas hujan saja. Toh jaket ojol ini sudah cukup lumayan untuk melindungi badan dari hujan kecil.
Laju motor tak terlalu kencang, cenderung santai menikmati gerimis di sore yang teduh. Aplikasi ojol sudah kumatikan sejak awal hujan tadi. Pengalaman-pengalaman tidak enak membuatku malas mengambil penumpang atau mengantar makanan hujan-hujanan.
Sepanjang jalan, banyak motor menepi di beranda toko-toko. Beberapa kawan-kawan ojol nampak di situ. Bernaung dan sekadar berlindung dari air hujan agar tidak kebasahan.
"Woiii....sini bro, ujan! Ngopi dulu lah!!" Teriak salah satu kawan ojol, sambil mengangkat gelas plastik berisi kopi. Kawan yang lain juga melambaikan tangan mengajak bergabung.
Aku hanya menggeleng lemah. Membunyikan klakson sebagai balasan. Kuteruskan laju motor hasil kredit yang setahun lagi akan lunas.
Langit nampak semakin gelap. Semakin lama semakin cepat air yang turun dari langit. Hujan mulai deras dan bertambah lebat.
Tanggung, aku tak jadi berhenti untuk berlindung. Kubiarkan saja hujan ini menerpa tubuh. Jaket ojol ini tak sanggup lagi menahan air hujan yang banyak. Merembes, menembus hingga kulit. Sekujur tubuhku akhirnya basah.
"Lampu merah! Huh sialan!." Kutukku dalam hati. Sebal juga terhambat oleh lampu aneh ini. Angka di lampu mulai menghitung mundur. Dari angka 30. Deuh!
Di ujung jalan, di dekat serambi Pos Polisi, tampak seorang lelaki tua penjual terompet berteduh. Wajahnya murung dan lusuh, romannya sedih. Plastik yang menutupi dagangannya gagal melindungi seluruh terompet yang memenuhi pikulannya. Sebagian terompet untuk perayaan tahun baru itu rusak dan basah.
Kasihan juga, pikirku. Terbayang di benakku, saat ia pulang nanti, ia hanya membawa berita kegagalan. Mungkin istri dan anak-anaknya saat ini sedang di rumah menunggu hasil jualan yang ternyata hanya harapan hampa.
Sumber: https://lihatfoto.com |
Ku teringat di salah satu broadcast grup Whatsapp, yang memberitahukan akan larangan bagi umat muslim untuk meniup terompet di tahun baru. Entahlah, walau aku sedikit mengerti esensi larangan itu, tapi tetap saja kalau melihat tukang jualan terompet, merembet ke para pembuatnya, ke keluarganya dan semua mereka yang mengharapkan rezeki dan penghasilan di malam pergantian tahun, hati kecilku menjadi gamang.
Jelas mereka hanya rakyat kecil yang mengharapkan rezeki dan mencari penghasilan lebih memanfaatkan momen setahun sekali. Untuk sekadar bertahan hidup lebih lama di hari-hari berikutnya. Apa yang salah dengan hal itu?.
Entahlah... Hal-hal seperti ini memang sering membingungkanku. Hanya saja sebagai mahluk sosial, hati kecilku tak terima jika kesempatan atau pintu-pintu rezeki mereka ditutup begitu saja tanpa penjelasan yang masuk akal.
Lamunanku buyar oleh suara klakson mobil di belakang. Sudah hijau rupanya. Kulajukan motor hati-hati. Sebelahku motor jenis RX-King meraung-raung, melaju dengan kencang. Merebak membelah genangan air di depan, muncratan air yang ia sebabkan di kanan kirinya, indah juga. Lihat motor itu, aku teringat bung IM sekjen, yang hobby motor seperti itu.
Akibat lamunan di lampu merah tadi. Aku jadi sadar bahwa sekarang adalah malam menjelang tahun baru. Malam nanti pasti banyak yang melek. Menunggu detik-detik pergantian tahun. Macam-macam kegiatan sukacita untuk merayakan malam tahun baru. Entah merayakan apa. Bagiku sama saja. Hari-hari yang harus dilewati dengan kerja keras, jungkir balik memeras keringat.
Terngiang berita-berita di media, bahwa awal tahun baru ini pemerintah berniat menaikkan macam-macam harga. Iuran BPJS, tarif listrik, cukai rokok, tarif jalan tol, dan lain-lain, ku tak ingat lainnya.
Sialan! Entah apa yang mereka rayakan dengan gegap gempita saat malam pergantian tahun. Apakah merayakan penderitaan yang semakin kelam untuk rakyat miskin seperti kami?
Tak terasa air mataku malah mengalir. Membayangkan harga-harga yang harus kupenuhi. Membayangkan seringai para pembuat kebijakan di pemerintahan. Para pembuat kebijakan yang meremehkan untuk berpihak pada rakyat miskin.
Air mataku, air mata geram.
Air mataku, air mata tak berdaya.
Air mataku, air mata yang hanya penuh sumpah serapah.
Air mata itu semakin deras. Tanggung, Kumenangis sekencang-kencangnya. Berharap hujan lebat menyamarkan tangisanku. Tak ada yang tahu.
Sementara rumahku semakin dekat. Langit semakin pekat, menjelang maghrib rupanya. Aku malu jika terlihat menangis, cengeng.
Kubuka saja helm ojol ini. Kubiarkan air hujan menerpa kepala, membasahi seluruh wajah, agar istri dan anak-anak tak tahu kalau aku menangis.
Selamat Tahun baru.
Selamat apa ??!!!
Sialan!