PATEN DAN STANDAR
Ruangan kasir rumah sakit itu terlihat sempit, mungkin tidak sampai 1 x 2 meter. Seperti loket untuk membeli karcis bioskop atau tiket kereta di stasiun. Kaca dengan lubang kecil berbentuk mulut gua menjadi satu-satunya celah untuk berkomunikasi dengan penghuni ruang sempit itu.
Seorang perempuan berusia sekitar 20 tahun sedang duduk di balik loket, menunduk, entah mengerjakan apa. Tak terlalu terlihat dari tempatku berdiri sebab terhalang penyekat tak tembus pandang.
"Permisi, Sus." Aku menyapanya dengan panggilan yang biasa dan umum ditujukan untuk pekerja rumah sakit yang perempuan selain dokter.
Suster itu sedikit kaget, menoleh ke arahku.
"Eh--Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?," katanya dengan gerakan sopan dan senyum khas sesuai standar pelayanan pelayan garis depan.
"Saya mau tanya, tentang tagihan sementara hingga saat ini untuk perawatan istri saya."
"Oh, baik. Siapa nama pasiennya, Pak?"
"Namanya sebut saja Melati."
"Ok. Ditunggu sebentar ya, Pak."
Suster loket itu beranjak ke ruangan dalam, menuju meja komputer. Aku duduk di ruang tunggu itu sambil memandang sekeliling. Sepi, hanya ada beberapa orang saja di ruang tunggu yang dilengkapi pendingin ruangan ini. Rapih dan bersih juga. Lantai dan perabotannya terlihat rutin dibersihkan. Yah, lumayanlah untuk ukuran rumah sakit kecil seperti ini.
Tak beberapa lama, kepala suster loket itu muncul di balik jendela kaca. "Pak, ini tagihannya atas nama sebut saja Melati." katanya sambil menyodorkan selembar kertas print out tagihan.
Aku menghampiri loket dan kuambil kertas kecil yang bertuliskan angka-angka itu.
"Whaatt!!?." Jumlahnya gede banget! Untuk ukuranku yang hanya tukang ojek, jumlah segitu bisa menguras tabungan hasil ojek selama 5 bulan,! kataku dalam hati.
Masalahnya, aku gak sempet nabung. Penghasilan ojek hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Boro-boro untuk menabung atau membayar premi asuransi kesehatan.
Setelah berhasil menenangkan pikiran, kutatap suster yang diam saja melihat kekagetanku.
"Yang bikin mahal apa ya, Sus?," tanyaku penasaran.
"Oh, kalo dilihat dari daftarnya, yang bikin harga tinggi itu obat-obatan, saya juga kaget lihat harga obatnya yang mahal," kata Suster loket sambil memandangku, ada empati di sinar matanya.
"Maksudnya gimana, Sus?," kejarku yang benar-benar tidak dapat mencerna kata-kata suster muda ini.
"Sebaiknya, bapak tanya saja ke ruang perawatan kamar, biar lebih jelas. Kalo saya hanya kasir pak, hanya tahu jumlah tagihan," hindar suster muda ini. Sekilas sempat kubaca nama di bajunya.
Aku mengangguk, "Ok baik, saya akan tanya ke sana. Terima kasih ya, Sus."
"Sama-sama, Pak."
Aku berlalu dari bagian kasir, langsung menuju lantai dua tempat istriku di rawat. Ada Ruang Perawat di sana.
****
Ruangan para perawat jaga terletak di sudut gang tempat lalu lalang pasien/pengunjung. Di situ ada 4 orang perawat yang sedang duduk, berkutat dengan entah apa.
"Permisi, Sus." Aku menyapa mereka. Keempatnya kompak mendongak, ada juga yang kaget sambil menyembunyikan ponselnya.
Bruder, perawat yang laki-laki menyahut, "Ya, pak. Ada yang bisa dibantu?."
"Begini mas, tadi saya dari bagian kasir, menanyakan tagihan sementara untuk perawatan istri saya." Aku diam sejenak. Bruder dan tiga orang suster juga diam menyimak.
"Tagihannya ternyata lumayan besar, padahal istri saya baru masuk jam 11 siang kemaren, sampai hari ini jam 2 siang, hanya satu hari lebih dikit, atau 26 jam saja."
Mereka masih diam tak menanggapi.
"Menurut kasir yang bikin mahal adalah tagihan obat-obatan, benarkah demikian?." Aku sengaja menekannya di bagian kata "obat-obatan" seperti yang disampaikan oleh kasir muda tadi.
"Oh, kalo boleh tau, pasien pake jaminan apa pak?," tanya si mas Bruder.
"Saya bayar mandiri, kartu BPJS saya gak bisa digunakan," kataku lemah.
"Oh gitu ya, Pak. Memang obat-obatan untuk pasien yang bayar mandiri, diberikan yang bagus dan paten yang bikin cepat sembuh, jadinya mahal, sama dengan pasien peserta asuransi," Bruder itu menjelaskan dengan ringan.
Penjelasan yang ringan itu terasa berat bagiku. Aku hanya terbengong-bengong mendengar itu.
"Kalo ada pasien yang pake BPJS, dikasih obat yang sama?," tanyaku penasaran.
"Oh enggak pak, harga obat disesuaikan dengan tarif di BPJS, biasanya lebih murah." jawab si Bruder dengan entengnya.
"Berarti dikasih obat yang gak paten?."
"Iya, obatnya yang standar, obat generik."
Aku tambah pusing. Obat standar? Obat Generik? Obat paten? untuk orang sakit?.
Aku ngeloyor pergi sambil mengucapkan terima kasih. Setelah menghubungi sana-sini terkumpul dana sumbangan dari keluarga. Akhirnya diputuskan membawa pulang istriku yang belum sembuh benar. Di rawat di rumah. Sambil mencari celah untuk mendapatkan kartu sakti guna berobat gratis.
Beruntung punya kawan-kawan yang hebat-hebat, mereka mau membantu. Semoga berhasil.
****
Inget tetanggaku yang seorang kontraktor, pernah bilang saat nge-cor jalan perumaan. Cor yang mahal kualitas campuran dan obatnya lebih paten. Jadi kering lebih cepat dan awet puluhan tahun.
Beda dengan Cor-an yang murah, kering lebih lama, dan gampang hancur.
Omaygat!
*Catatan editor mengenai Obat Paten dan Obat Generik*
Obat generik adalah obat-obatan yang sudah habis masa patennya. Oleh sebab itulah jenis obat generik dapat di produksi oleh hampir seluruh perusahaan farmasi yang ada tanpa harus membayar royalti.
Obat generik dapat dijual dengan harga yang jauh lebih murah karena ada dua faktor yang mempengaruhi hal tersebut, yakni karena memproduksi obat generik tidak membutuhkan biaya untuk riset atau penelitian (RND) serta tidak membutuhkan biaya untuk pematenan obat atau membayar royalti kepada pemilik atau pemegang hak paten.
Obat generik sendiri ada 2 jenis. Yakni obat generik bermerk dan obat generik berlogo
Obat Generik Berlogo (OGB)
OGB atau obat generik berlogo adalah obat yang diberi nama sesuai dengan kandungan zat aktif yang dikandung. Sebagai contoh obat antibiotik seperti amoksisilin. Pada obat generik berlogo atau OGB, maka nama pada kemasannya adalah Amoksisilin tanpa ada nama lain di bagian belakang nama obat tersebut.
Obat Generik Bermerk
Sedangkan obat generik bermerk adalah obat generik yang dinamai sesuai dengan keinginan dari produsen farmasi yang memproduksinya. Contohnya pada obat antibiotik seperti amoksisilin di atas tadi. Misalnya sebuah perusahaan BP memproduksi obat tersebut, maka nama pada obat tersebut akan menjadi Amoksisilin BP pada kemasannya.
Obat generik bermerk lebih mahal karena menggunakan kemasan yang lebih baik sesuai dengan keinginan produsennya. Perbedaan lainnya dengan OGB juga pada beberapa zat tambahan serta zat pelarut yang digunakan pada racikan obat tersebut. Pada sebagian jenis obat generik bermerk, biasanya akan ditambahkan zat yang akan mengurangi aroma yang kurang sedap dari obat.
Pengertian Obat Paten
Berbeda dengan obat generik, obat paten adalah obat baru yang diproduksi serta dipasarkan oleh sebuah perusahaan farmasi yang sudah memiliki hak paten terhadap produksi obat baru tersebut.
Hal tersebut tentu saja dilakukan menurut serangkaian uji klinis yang telah dilakukan oleh pihak perusahaan farmasi tersebut. Tentunya disesuaikan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan secara internasional. Sehingga obat yang telah diberikan hak paten tersebut tidak dapat diproduksi hingga dipasarkan oleh berbagai perusahaan farmasi lainnya tanpa seizin perusahaan farmasi yang memiliki hak paten.
Izin produksi ataupun pemasaran akan diberikan kepada perusahaan farmasi lain dengan pembayaran royalti, besaran biaya royalti inilah yang membuat harga obat tersebut menjadi mahal.
Masa berlaku hak paten di Indonesia adalah 20 tahun. Dan saat masa hak paten tersebut habis, maka pihak perusahaan farmasi pemilik paten tersebut tidak dapat memperpanjangnya kembali.
Jenis obat yang masa patennya telah habis tersebut dapat diproduksi kembali oleh perusahaan farmasi lain dalam bentuk obat generik bermerk atau obat generik berlogo.