CERITA HALU 3
Kisah ini adalah kisah sambungan dari: Di Antara Union Busting dan Solidaritas Pekerja (Bagian 2)
Ketiganya melihat layar hape, dan mendapati foto Fatur di situ. Narsih kemudian memainkan layar, menekan sana sini, menggeser atas bawah, membuka semua media sosial yang ia punya. Mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, semua bergambar dan bertuliskan sama.
Inti dari gambar itu adalah mereka semua mendukung Fatur!
"Apa ini? Apa maksudnya?" tanya Kurniawan tak sabar.
"Itu lho, Pak, semua medsos dan berita online penuh dengan berita tentang pemecatan Fatur di perusahaan kita! Mereka semua mendukungnya!," jawab Narsih cemas.
"Terus?"
"Ya, itu bisa menurunkan kredibilitas perusahaan kita lho, Pak! Perusahaan ini bakalan dianggap sebagai penjahatnya!."
Kurniawan terdiam. Ranto ikut diam. Hanya si Pengacara yang senyum-senyum. Bahkan ia mulai tertawa lirih.
"Hi....hi...hi..."
"Lah, kok anda malah tertawa?," tanya Ranto penasaran. Kurniawan dan Narsih ikut memandang si Pengacara, heran.
"No ... No ... No! Gak usah cemas!" kata si Pengacara sambil menggerakkan telunjuknya kanan kiri. Persis seperti guru yang melarang muridnya bandel.
"Itu memang cara mereka. Dan pasti hanya kuat sesaat saja, paling lama seminggu. Sudah itu, hilang, berganti dengan issue lain. Sudah biasa itu!," lanjutnya santai.
Narsih tertegun, tak disangkanya berita yang ia kira bakal heboh itu ternyata hanya dipandang sebelah mata.
"Lalu, a--apa yang harus kita lakukan?," tanya Narsih agak gugup.
Sebelum Benarudinawisata menjawab, tiba-tiba interkom di mejanya berbunyi.
"Ya?" Ranto yang menjawab karena ia lebih dekat dengan alat itu.
"Pak Kurniawan diharap ke ruangan Presdir, sekarang!," jawab suara wanita di seberang. Suara Lastri, sekretaris Presiden Direktur.
"Baik!" kata Kurniawan sambil berdiri, ia tahu jika Presdir yang memanggilnya, berarti ada yang penting dan ia harus segera menemuinya. Bos tertinggi perusahaan itu tak terima penundaan!.
"Saya menghadap Presdir dulu. Kalian tunggu di sini. Narsih, sediakan makanan dan minuman ringan di sini. Kita belum selesai diskusi."
Setelah memberikan instruksi singkat, ia segera keluar ruangan menuju ruangan Presdir yang terletak di lantai 6, lantai paling atas.
Narsih segera menyiapkan makanan dan minuman ringan seperti yang diperintahkan. Lalu ia duduk di sebelah Ranto. Ikut menunggu pak Kurniawan kembali.
Sambil menunggu, ketiganya berkutat dengan gawai masing-masing. Ranto dan Narsih membuka medsos yang mereka miliki, dan mendapati bahwa trend di media sosial masih tentang Fatur.
"Huh!" keluh Ranto, ia geram sekali melihat wajah yang ia benci itu terpampang di hapenya.
Hanya si Pengacara yang santai, ia juga memainkan gawainya. Asyik bermain Mobile Legend.
----------------
Tak lama, Kurniawan kembali masuk ruangan. Wajahnya agak kemerahan. Nampaknya sangat gusar. Bibirnya yang terkatup rapat menandakan ia menahan amarah.
Ketiga orang itu memperhatikan perubahan sikap Kurniawan. Mereka serentak berhenti memainkan hape. Bersikap menunggu.
"Sialan! Presdir ternyata monitor kondisi di medsos dan berita online!," kata Kurniawan setelah duduk kembali di kursinya.
"Dan beliau marah karena itu, dianggapnya kita tak becus mengurus masalah ini. Dia tak mau masalah sepele ini sampai ke media. Dan ia ultimatum untuk segera menyelesaikan kasus ini."
Ketiga orang di depannya masih diam. Kurniawan pun diam, tampak berpikir keras.
"Baik, begini saja. Pak Benarudin, nanti atur pertemuan dengan perangkat organisasi serikat itu. Lalu ancam mereka. Katakan bahwa perusahaan tak akan bernegosiasi untuk masalah Fatur. Dia akan tetap kita buang. Apapun caranya!," lanjut Kurniawan dengan geram.
Benarudinawisata si Pengacara mengangguk-angguk, wajahnya biasa saja.
"Bilang mereka, percuma melawan perusahaan besar ini. Kita tetap mengeluarkan Fatur, apapun caranya dan berapapun ongkosnya! Jika ia melawan terus, kita pastikan hidupnya akan sengsara!."
Ranto dan Narsih tersenyum puas. Mereka gembira dengan instruksi itu.
"Mampus kamu Fatur! Berani-beraninya lawan kami!" gumam Ranto nyaris tak terdengar.
"Tapi, Pak. Bagaimana dengan anggota FSPGB di daerah ini? Mereka pasti akan melakukan aksi besar-besaran di depan pabrik, seperti yang biasa mereka lakukan di pabrik lain," tanya Ranto bingung.
"Gak usah takut, nanti saya akan menghubungi preman kawasan sini, agar mengawal pabrik, asal ada bayaran mereka akan bergerak, juga aparat, saya bisa bayar mereka untuk menjaga pabrik." Narsih menjawab dengan senyum sumringah, senang sekali dia nampaknya.
"Ha...ha...ha.... Hal itu pasti gak akan terjadi," kata si Pengacara sambil tertawa riang.
"Kenapa, Pak? Bukankan itu pasti yang akan mereka lakukan jika aksi demo?" tanya Narsih, senyumnya meredup.
"Iya, jika pun ada aksi, tak akan sebanyak dulu. Mereka, serikat-serikat itu sudah pada lemah semua. Panggilan aksi pasti akan banyak yang mengabaikan. Sudah tak ada lagi kekompakan di antara mereka. Ha ... Ha ....!" jawab si Pengacara.
"Lah, itu di medsos? Mereka ramai berteriak akan bersolidaritas ke sini!" sanggah Narti.
"Itu cuman di medsos, kenyataannya gak akan seperti itu!"
"Tapi mereka kan terkenal dengan satu komandonya?"
"Itu dulu! Dulu sekali! Sekarang mereka gak akan pernah satu komando lagi! Apa lagi yang memberi komandonya sekarang sudah tak bernyali lagi!"
"Kok bisa begitu? Pak Benarudin tau dari mana?" Narsih penasaran.
"Hi..hi... Saya kenal dengan para petinggi serikat itu. Mereka sekarang itu pecah, hanya ribut sendiri. Bertengkar sendiri. Saling curiga. Apalagi kita bisa kondisikan para pimpinan perangkat. Ha...ha.... Mudah sekali!"
"Betul! Betul! Betul! kata Ranto menirukan gaya Upin Ipin sambil nyengir.Tapi ia segera menghentikan cengiran saat melihat Kurniawan melotot padanya.
"Tapi mereka militan sekali, lho pak!" Narsih masih keukeuh dengan asumsinya.
"Di tingkatan bawah, anggota, mungkin iya, mereka bisa militan, agresif, bahkan bisa anarkis. Tapi itu kalo ada instruksinya. Nah, kalo instruksi gak ada? Mereka hanya bisa koar-koar saja," jawab Benarudinawisata kalem.
"Kok bisa gak ada instruksi? Bagaimana caranya? Kan Fatur anggota mereka juga?"
"Mudah sekali. Instruksi turun dari para pimpinan di cabang organisasi. Nah jika para pimpinan itu bisa kita rayu, kita iming-imingi imbalan, kita intimidasi, kalo perlu kita ancam, bisa apa mereka? Mereka pasti pada ketakutan!"
"Betul, Pak. Lagipula adanya undang-undang yang baru yaitu UU SPOTAKER, kita bisa melakukan apapun terhadap mereka," kata Ranto ikut nimbrung.
"Benar sekali! Undang-undang baru itu memihak kita. Bahkan turunannya semakin memudahkan kita jika ingin membuang pekerja model Fatur ini, yang susah kita atur." Pengacara itu mengiyakan.
Narsih mulai manggut-manggut. Tapi ia lalu berkata, "Lalu, bagaimana dengan kawan Fatur yang lain, yang orang penting bahkan?"
"Siapa?" tanya Kurniawan menyela.
"Kabarnya, Fatur ini didukung hingga para senator, di pusat atau daerah, lho Pak!" jawab Narsih, wajahnya kembali cemas.
"Senator? Ha...ha... Jangan khawatir! Mereka tak akan bisa berbuat apa-apa. Mereka kan harus ikut regulasi di senat. Kalo mereka aneh-aneh kan sayang jabatannya itu lho! Hi hi ...!" Geli sekali si pengacara saat mengatakan itu.
"Tapi kalo mereka mengadakan sidak ke perusahaan? Kan dibolehkan?" Narsih masih penasaran.
"Gak akan berani mereka sidak! Orang-orang di pusat organisasinya juga pasti melarang itu! Bisa hilang setoran kalo sampai orang mereka hilang jabatan!"
"Oh, begitu ya, Pak?"
"Iya pasti begitu, mereka pasti berpikir buat apa susah-susah pikirin kasus Fatur? Toh, kehilangan seorang anggota tak masalah bagi mereka yang masih punya ribuan anggota lagi di seluruh negeri!"
"Tapi, kalo mereka nekad? Tetap aksi besar-besaran?" kata Narsih pelan seperti berkata pada dirinya sendiri.
"Jika itu terjadi, gampang saja, kita bisa pake aturan kesehatan, kan lagi pandemi! Hubungi saja aparat untuk mengancam mereka akan ditangkap! Pasti langsung ciut nyalinya. Ha ha ha....!"
Kali ini mereka semua tertawa terbahak-bahak. Saking geli, Ranto hampir terjungkal dari kursinya. Hanya Kurniawan yang hanya tersenyum mendengar diskusi barusan.
Hanya pikirannya saja yang melayang. Pikirnya, rasakan kau sekarang Fatur! Berani melawan saya, saya bikin sengsara hidupmu!
Lalu ia mulai tertawa. Semakin lama semakin keras. Matanya berkilat. Semakin lama tawanya semakin mengerikan.
Iblis menari-nari di ruangan itu
++++++++++