Aroma khas tembakau Aceh sangat kentara. Walau tercampur dengan bau asap dupa di setiap pojok ruangan. Dupa berbentuk lidi dan potongan menyan.
Namun orang-orang dalam ruangan tak terpengaruh. Mereka santai saja berbincang-bincang. Diselingi gelak tawa sana sini.
Ada delapan orang duduk di situ. Mengelilingi meja besar berbentuk oval. Beberapa orang berdiri di belakang, ikut mengelilingi meja yang penuh makanan dan minuman.
Braham, yang menjadi pusat perhatian saat itu berpakaian paling formal. Kemeja khas pembesar dengan emblem di dada kanan dan kiri menambah kegagahan sebagai penguasa daerah.
Di jarinya terselip sebatang rokok yang panjangnya 30 cm. Tak henti, mulutnya mengepulkan asap. Wajahnya sumringah. Tadi ia mendengar laporan dari anak buahnya bahwa di daerahnya hampir semua serikat pekerja bersiap melakukan aksi esok.
"Ini yang ditunggu-tunggu" pikirnya. Sudah saatnya tampil di depan. Strategi sudah punya. Kolega-kolega yang duduk di depannya sudah siap dengan porsinya masing-masing.
"Semua sudah siap dengan komandonya. Jika rusuh, maka hancurkan!." ucap Braham dengan lantang.
Ia tak peduli dengan laporan para intel yang bilang bahwa ribuan solidaritas pekerja akan turun ke jalan, dan akan melakukan apa saja sampai tuntutan mereka berhasil.
PUIHH!!
Ingin rasanya ia menghambur-hamburkan ludah agar semua tahu bahwa aksi itu bakalan ia anggap remeh.
Braham sangat tau, mental-mental pekerja itu, mental para pimpinannya.
"Izin, Pak!"
Suara itu membuyarkan lamunannya. Ia melihat ke arah orang yang berbicara. Pengusaha kaya. Salah seorang Raja kecil yang banyak pengikutnya. Braham mengangguk, mempersilahkan berbicara.
"Sebaiknya malam ini kita mulai gerilya. Datangi para pimpinan mereka satu-satu. Bujuk rayu, beri hadiah yang mahal, Cuan yang banyak, sampai istri-istri mereka silau."
Braham tetap diam menunggu lanjutannya. Hanya keningnya agak berkerenyit.
"Kita ancam agar aksi mereka hanya biasa saja. Teriak-teriak, konvoi jalan-jalan, berkumpul di lapangan. Teriak-teriak lagi. Hanya itu. Lebih dari itu, kita hajar!" kata Sarukhan yang gayanya paling perlente.
"Betul!"
"Bagus!"
"Oke tuh!"
Beberapa orang menanggapi. Para Pengusaha kaya juga yang duduk bersebelahan.
Sementara dua orang yang berseragam penuh bintang di bahunya hanya diam memperhatikan. Tak menunjukkan roman apapun di wajahnya.
Braham menggeleng pelan.
"Gak perlu," katanya dengan nada berat.
"Tak usah menghambur-hamburkan uang begitu."
Para pengusaha terdiam.
"Biarkan saja mereka mau berbuat apa besok. Kita tunggu sampai mereka berbuat anarkis. Baru kita hancurkan!," lanjut Braham sambil mulutnya tersenyum simpul.
"Pak Sanghite, sudah siap dengan pasukan yang dibekali tameng, rotan dan bom asap, ya kan, Pak?" Mata Braham beralih ke orang disebelahnya, yang berseragam penuh bintang di bahunya.
Sanghite mengangguk pasti. Mukanya masih datar, tak menunjukan roman apapun.
"Dan pasukan pak Phusarlaa sudah siap menjaga tempat-tempat strategis, yang siap melumpuhkan siapapun yang berani memasuki daerah strategis?" Tanya Braham pada orang disebalah Sanghite.
Phusarla juga hanya mengangguk. Wajahnya yang agak ser karena kumis melintang itu pun tak menunjukkan roman apapun.
"Nah, kita gak usah khawatir dengan aksi jalan-jalan mereka. Cuman siapkan saja anak buah kalian karena jika mereka bandel, mereka akan berhadapan dengan anak buah kalian yang sadis-sadis itu, anda semua siap?," Tanya Braham pada para raja-raja kecil itu.
"Tentu siap, Pak! Ada seribu orang anak buah saya yang paling sadis, siap menyerbu mereka!" kata Punjambrut salah seorang yang paling kusam warna kulitnya.
"Saya siap dengan seribu lima ratus orang!" Sahut Sarukhan tak mau kalah.
"Seribu orang mantan gali sudah saya siapkan, hati-hati saja para pekerja itu jika bertemu anak buah saya!" Gavindra turut menimpali, ia pengusaha yang paling muda di situ.
Braham mengangkat tangannya sambil tertawa, "Ha ha ... Cukup! Cukup! ... Saya percaya dengan kemampuan anda semua."
"Hanya sepertinya kita tak sampai heboh nanti. Yahh laporan pak Sanghite sudah bicara banyak tadi," lanjut Brahma, mulutnya masih tersenyum.
"Para intel sudah menyebar ke seluruh pabrik, dan pabrik-pabrik itu masih akan berjalan normal. Pekerja lain masih akan bekerja seperti biasa. Mereka hanya ramai di udara saja. Besok paling hanya membludak di awal, setelah makan siang, pasti mereka kecapean."
"Ha ... Ha ..., Lalu pulang satu persatu, sisa segelintir orang yang tak akan dapat berbuat banyak."
"Ha ... Ha ... Ha...!"
Semua tertawa, kecuali Sanghite dan Phusarlaa. Sikap mereka sama saja. Tak menunjukkan mimik apapun. Datar.
"Yang penting malam ini kita makan minum sepuasnya! Gak usah pikirin aksi mereka besok, aksi-aksi cemen ... hanya wisata jalan-jalan saja!" Kata Braham sambil menengguk gelas besar berisi campuran susu, coklat, mayones, daun bawang, dan rempah lain yang atasnya ditaburi lada hitam. Entah bagaimana rasanya.
"Yang pasti, upah mereka tak akan naik di tahun depan! Hua ... Ha ... Ha ...!" Braham terbahak-bahak.
"Ayo! Makan! Makan! Habiskan makanan minuman ini!" serunya sambil tangannya mencomot tulang Hiu crispy, dan mengunyahnya dengan lahap!
Ramailah mereka makan dan minum yang bukan main banyaknya itu. Tak terkecuali Phusarlaa dan Sanghite.
+++++++++
Bersambung
Penulis: Yous Asdiyanto Siddik.
Rabu, 24 November 2021