~ Sang Kyai ~
Oim menatap gamang tanah lembab bertabur bunga yang basah di depannya. Wajahnya tertunduk dalam. Rasa sakit masih amat menyesaki dadanya. Nafas begitu berat dirasa.
Satu persatu, orang-orang meninggalkan area pemakaman. Keluarga besar, santri, murid-murid mendiang, kerabat, handai taulan, kenalan, warga sekitar, pun nampak beberapa kolega bapak yang rata-rata pejabat, yang sebagian besar tak dikenalnya.
Angin sore berhembus pelan seakan turt berduka, menggerakan rerimbunan pohon besar yang mendominasi area pemakaman desa yang teduh.
Pohon-pohon bambu yang bergoyang harmoni, menciptakan suara mendesis yang membuat suasana berbeda. Begitu senyap yang menggugah bulu roma.
"Gus, kundur mawon nggih.?" Seseorang mengamit bahu Oim.
Hasan menatap sayu ke arahnya. Masih nampak jelas jejak-jejak air mata di wajah sahabat masa kecilnya itu. Dengan berat hati ia meninggalkan Oim karena ada keperluan lain yang mendesak.
Oim tak mampu berkata-kata. Sebuah isyarat anggukan kepala sudah cukup rasanya.
Dadanya kembali sesak saat memandang tanah kuburan yang basah tertutup ribuan taburan bunga. Matanya kembali panas, dan menganak sungai di wajah sendunya.
Isaknya tertahan. Oim tahu, kesedihan yang dirasakannya jauh berbeda dengan kesedihan keluarga yang lain.
Hanya Oim yang merasakan. Hanya dia.
*****
"Apa bapak sudah pertimbangkan baik-baik, Pak? Jadi pejabat itu beda pak. Saya lebih suka bapak begini saja. Jadi bapak kami, bapaknya ribuan santri di pondok, bapaknya masyarakat desa sini pak."
Pelan-pelan Oim mengutarakan pandangannya saat bapak mengabarkan kesediaannya untuk menjadi calon wakil bupati tiga tahun lalu. Sebagai aktivis mahasiswa, Oim paham betul betapa dunia pesantren jauh berbeda dengan dunia luar sana.
Dari 9 orang anak bapak, hanya Oim yang merantau ke Jakarta. Kuliah di universitas negri terkenal. Sedang saudara Oim yang lain rata-rata melanjutkan studi ke Mesir atau Yaman. Menjadi pengurus dan pengajar di pondok bapak, atau mengabdi di lembaga pendidikan yang lain.
Oim adalah anak lelaki pertama dari istri ke tiga Kyai Azis Rahman Hakim, ulama dan tokoh terkenal di daerah Wendal, Jawa Timur.
"Ibrahim, seorang mumin itu punya misi hidup, hakekat hidup, bermanfaat...." ungkap Kyai Azis pada anak lelaki kebanggaannya itu. Suaranya khas, pelan tapi dalam.
"Manfaat bapak di pondok ini, di kampung ini sudah terhitung lama. Mumpung Allah kasih umur, kesempatan ada, bapak berpikir, alangkah baiknya kalau bapak mulai mengepakkan sayap kebaikan dan kemanfaatan bapak supaya lebih luas di daerah kita," sambung lelaki kharismatik itu.
Oim tak mampu mengatakan apapun. Didengarkannya baik-baik ucapan ayah yang sangat di hormatinya itu.
Pandangannya jatuh di ujung sarung sang bapak. Hatinya berdebar keras, sebutir keringat lambat menyusur ujung pelipisnya. Hanya sebutir.
Dan sejak saat itulah, semua bermula.
*bersambung
======== ======== ======== ========
Penulis: Sri Suharni Maks
Sabtu, 25 Mei 2019