Saya menceritakan ini bukan bermaksud narsis. Tepatnya 11 tahun yang lalu, hanya beda atribut saja!.
Bercelanakan kolor selutut, dengan atasan kaos lengan pendek yang warnanya sudah sulit untuk diterjemahkan, karena bercampur warna karat, serbuk besi dan oli. Sandal jepit yang penuh bram-bram tatal besi (serbuk besi) yang menancap.
Sejenak ingatan membawaku ke sebuah bengkel bubut yang terletak di Jakarta bagian barat, bengkel bubut yang menjadi labuhan pertama ijazah STM-ku. Ini hanya sebuah bengkel, bukan pabrik.
Ijazah tidaklah terlalu penting di sini. Sebagai "anak baru", saya tidak bisa serta merta dipercaya memegang mesin, harus ‘ngenek’ dulu (bantu-bantu) jadi asisten.
Ikut TRUK angkutan barang untuk mengantarkan pesanan ke pabrik-pabrik se-jabodetabek, menaik-turunkan barang adalah bagian dari jobdesk "anak baru".
Suatu ketika saya pernah merenung sejenak ketika usai sholat dzuhur. "Enak sekali jadi Karyawan PT ya?, seragamnya bagus-bagus, pakai sepatu, peralatannya juga canggih. Sehingga kalau mau mengangkat barang gak harus pakai keringat."
1 Tahun kemudian Alloh SWT menjawab renungan saya, kebetulan ada teman sekaligus saudara yang peduli dengan keadaan saya waktu itu, dan impian untuk menjadi pekerja pabrik pun akhirnya menjadi kenyataan. Alhamdulillah.
Belum usai…
Suatu ketika saat melintas di kawasan perkantoran Semanggi, dalam hati saya berdecak kagum melihat gedung-gedung tinggi, memandangi staff-nya yang rapi-rapi, sepatunya juga mengkilap, ruangan kerja yang dingin lagi harum.
Hati membatin, "Bagaimana caranya saya bisa bekerja di tempat seperti itu?."
Alhamdulillah, 3 Tahun kemudian Alloh kembali menjawab kegundahan hati saya, benar adanya… waktu itu saya berhasil menjadi pegawai perusahaan dan mendapatkan ruangan di lantai 7, di gedung yang sama yang pernah saya impikan waktu itu.
Belum usai juga…
Di sela kepenatan, saya pernah berpikir dan merenungi suatu keinginan yang saya rasa tidak masuk akal. Saya ingin terjun di dunia pendidikan, bertemu dengan orang-orang intelek, sehingga ilmu pengetahuan dan wawasan berkembang terus.
Dasar pemikiran saya sederhana saja, selain takut akan kemadzorotan (kemudharatan), saya juga prihatin dengan kondisi anak muda dan pelajar saat ini.
Tapi pikiran negatif terus meragukan keinginan saya itu. "Memangnya ijazah kamu apa? Mana mungkin!. Boro-boro mengajar anak-anak muda, mengajar anak SD saja belum tentu bisa?," Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang-ngiang dalam hati sehingga saya ragu untuk melangkah.
Namun demikian, ternyata 2 tahun kemudian Alloh kembali menjawab kegundahan hati saya.
Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban (Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan kamu dustakan).
Bagi saya, sekilas fase kehidupan ini selalu menghadirkan kebahagiaan sendiri. Kebahagiaan otomatis datang ketika kita mendapatkan sesuatu yang baru, pekerjaan baru, tempat kerja yang baru, posisi baru, pendapatan baru, tapi sadarilah, semua itu sifatnya hanya sementara, sesaat saja.
Kebahagiaan yang permanen adalah “ketika kedekatan hati begitu dekat dengan Sang Pencipta, saat kesempitan itu datang”, yang kedua “ketika orang lain dapat turut merasakan manfaat dari kelapangan harta yang Alloh karuniakan kepada kita". Itu saja!.
Tidak sampai di situ…
Saya masih iri dengan orang-orang yang berilmu, di mana banyak orang lain dapat merasakan pula manfaat ilmu yang dimilikinya.
Dia juga lapang harta, sehingga banyak orang lain yang ikut merasakan kemanfaatan hartanya, dan banyak sekali aktivitas-aktivitas kebaikan yang tercipta melaluinya.
Dia juga zuhud, tidak tamak, dan segala aktivitas yang ia lakukan hanya berorientasi pada Robb-nya saja.
Berapa tahun kemudian…
Khoirunnas anfauhum linnas (sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain.)
Wallahu A'lam...
Penulis: Eko Siswadi
Jumat 30 November 2021