Pembeli: “Saya beli produknya 100 ya,,, tapi dipecah-pecah aja, misalkan 10 barang per pengiriman. Invoice-nya juga, bisa kan? biar nggak kena bea masuk impor”.
Penjual: “ Baik, Mba. Bisa diatur.”
Barang impor saat ini menjadi pilihan para konsumen khususnya masyarakat Indonesia. Harga, model yang update, dan kualitas barang impor menjadi daya tarik tersendiri.
Sayangnya, tingginya animo masyarakat dalam membeli barang impor tidak diimbangi dengan kesadaran yang semakin baik dalam prosedur pembelian.
Hal ini wajar mengingat prinsip ekonomi: “Hendaklah pelaku ekonomi itu melakukan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil tertentu atau dengan pengorbanan tertentu ingin memperoleh, hasil maksimal”.
Hal ini berdampak pada preferensi konsumen atas produk impor dibanding produk dalam negeri. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia membuat kebijakan baru yang dikenal dengan istilah “de minimis value”, guna mendukung produk dalam negeri.
Apa itu De minimis value?
De minimus value atau De minimis value threshold biasa juga disebut "ambang batas pembebasan" adalah nilai pabean tertentu yang ditetapkan sebagai batasan untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak tertentu sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
BEA MASUK
Bea Masuk merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang memasuki suatu daerah pabean. Umumnya dibebankan untuk setiap penerima barang per satu hari atau lebih dari satu kali pengiriman dari luar negeri dalam waktu satu hari.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menurunkan batas nilai impor yang dikenakan bea masuk barang impor kiriman dari US$75 menjadi US$3 per kiriman, terhitung Januari 2020. Beberapa negara, seperti Liberia, Ghana, Madagaskar, Swiss, and China telah mengimplementasikan terlebih dahulu.
Latar belakang penurunan nilai juga dipicu oleh beberapa fakta diantaranya: rata-rata nilai impor yang sering di-declare dalam pemberitahuan impor barang kiriman adalah US$3,8 per dokumen pengiriman, total pengiriman mencapai 19,57 juta paket pada 2018 (3x lipat dari tahun 2017).
Kemudian trend dari nilai impor barang kiriman yang masuk ke Indonesia cenderung meningkat dari US$290,07 juta (2017), US$540,91 juta (2018) dan US$673,87 juta (2019).
Dari seluruh keterangan tersebut, didapat fakta bahwa dari sisi jumlah 98,65% dari dokumen barang kiriman merupakan barang kiriman dengan nilai di bawah US$75, dan dari sisi harga, 83,88% barang kiriman memiliki harga di bawah US$75.
Hingga saat ini, barang impor barang kiriman dari e-commerce per 2019 sudah mencapai 49,69 juta paket pengiriman, setara 20% dari jumlah masyarakat Indonesia.
Dari aspek makro, penurunan nilai dasar kena bea masuk dari US$100 menjadi US$75 dinilai kurang efektif dalam meningkatkan daya beli produk dalam negeri. Hal tersebut berdampak pada neraca perdagangan Indonesia yang semakin defisit.
Sesuai dengan perumusan ekonomi makro yaitu: Y = C + I + G + (X-M), dimana Y = Pendapatan Nasional, C : Konsumsi, I : Investasi, G : Pengeluarang Pemerintah, X – M : Neraca Perdagangan (X : ekspor, M: impor), sehingga bila nilai X-M ialah negatif, maka kondisi tersebut menurunkan nilai pendapatan nasional Indonesia yang berpengaruh pada kesejahteraan rakyat.
Hal lain yang menjadi perhatian ialah pola konsumsi yang terbentuk. Berdasarkan hasil survey Nielsen dan The Conference Board® Global Consumer Confidence™, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia relatif stabil di angka 125 pada kuartal pertama 2019.
Nilai IKK dipengaruhi oleh tiga indikator yaitu optimisme konsumen terhadap prospek lapangan kerja lokal, keadaan keuangan pribadi, dan keinginan untuk berbelanja.
Sayangnya, pola berbelanja lebih didominasi oleh pembelian produk impor dibandingkan produk dalam negeri. Hal ini dapat membuat ketergantungan atas barang impor sehingga lebih banyak jumlah rupiah yang keluar karena pembelian barang impor dan berpengaruh pada nilai tukar Rupiah.
PRO-KONTRA
Penurunan batas nilai pembebasan bea masuk merupakan suatu langkah yang bisa menciptakan kesetaraan dalam berbisnis, terkhusus bagi produk UMKM. Saat ini produk UMKM kalah bersaing terkhusus dari produk impor dari China dalam hal harga.
Harga yang cenderung murah berpotensi dikarenakan adanya penyalahgunaan pembelian dengan modus pemisahan pengiriman barang guna menghindari bea masuk impor. Oleh karenanya, penurunan batas nilai pembebasan bea masuk dinilai mampu membendung bahkan menghilangkan modus pemisahaan pengiriman barang (splitting).
Hal lain yang dinilai menjadi dampak positif daripada kebijakan de minimus value ini ialah adanya kepastian investasi dan perlakukan perpajakan yang sama bagi para importir maupun investor asing.
Namun, Kebijakan ini juga berpeluang menimbulkan dampak negatif, seperti: menurunnya pendapatan PT Pos Indonesia (Persero). Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar pengiriman impor e-commerce melalui PT Pos Indonesia (Persero). Dampak lainnya ialah peluang naiknya jumlah kasus penyeludupan barang-barang tersebut guna menghindari bea masuk impor.
Lalu, apakah hal ini dapat berpengaruh pada Pengadilan Pajak?
Jawabannya, kemungkinan besar tidak, dikarenakan kasus penyeludupan yang diduga akan menjadi akibat yang ditimbulkan dari kebijakan ini, merupakan jenis kasus pidana di mana proses peradilannya dilakukan di pengadilan negeri. Namun, apakah akan berdampak secara tidak langsung?
Mungkin iya, Mungkin tidak. Pada akhirnya, serendah apapun batas nilai impor yang diberlakukan di Indonesia, mencintai, membeli, dan menggunakan produk dalam negeri sudah seharusnya dilakukan oleh kita, warga negara Indonesia.
Kalau bukan dimulai dari bangsa sendiri yang mencintai produk dalam negeri Indonesia, lalu siapa lagi?
#CintaiProdukProdukIndonesia
Penulis: Gabriella Grace
TC Media Edisi 116 | Tahun 2020
------------------------------------
Dikeluarkannya kebijakan penurunan de minimis value adalah dalam rangka membantu produsen dalam negeri. Tujuan kebijakan ini adalah membantu produsen dalam negeri dan menciptakan level playing field. Kedua, kebijakan ini bertujuan untuk menumbuhkan bisnis mereka untuk menjadi tuan rumah di pasar sendiri. ~ Bisnis.com
Selebihnya bisa dibaca lebih lanjut mengenai barang kiriman.