Kembalinya Hati yang Hampa

Kembalinya Hati yang Hampa - cintanya pada putrinya, Nina, lebih besar dari segala rasa lelah itu, membuat senyum tipis tetap bertahan di wajahnya
Kembalinya Hati yang Hampa

Hujan rintik-rintik menemani senja yang mulai beranjak gelap di sebuah kota kecil di pinggiran Jawa Tengah. Gemericik air dari talang yang bocor berpadu dengan suara serangga malam, menciptakan harmoni yang melankolis. 

Di kejauhan, cahaya lampu jalan yang temaram memantul pada genangan air, menambah suasana yang muram namun indah. Aroma tanah basah bercampur dinginnya angin membuat suasana sore itu terasa syahdu, meski hati Nina tengah dipenuhi kegelisahan. 

Rumah kontrakan sederhana tempat ia tinggal bersama suaminya, Rian, dan dua anak mereka, terasa hampa sejak lima hari terakhir. Rian pergi untuk dinas luar kota, tetapi kepergiannya kali ini berbeda. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, hanya sunyi yang semakin menekan.

Nina menatap ponselnya yang tergeletak di meja ruang tamu, jemarinya gemetar saat hendak meraihnya. Bibirnya sesekali menggigit pelan, menahan gejolak perasaan yang berkecamuk. Matanya berkaca-kaca, menelusuri layar kosong yang seperti enggan memberikan jawaban. 

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, namun tangannya terus bermain dengan ujung kerudungnya, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali ia dilanda cemas. Setiap kali layar menyala, harapannya seakan melambung, namun selalu berujung kecewa. 

Pesan-pesan yang ia kirim hanya centang satu, tak pernah sampai. Bahkan, akun media sosial Rian mendadak lenyap. Di tengah kegelisahan itu, sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.

Saat ia membuka pintu, berdirilah seorang lelaki tua yang tak asing baginya. Wajah yang telah dipenuhi garis-garis usia itu adalah wajah ayahnya, sosok yang selalu menjadi tempatnya pulang di kala duka. 

Ayah Nina datang dari kampung halaman, menempuh perjalanan panjang dengan mobil tuanya yang setia menemaninya bertahun-tahun.

Lelaki tua itu menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan rasa letih yang terpendam di balik senyum tipisnya. Perjalanan panjang selama dua belas jam seorang diri memang melelahkan, terlihat dari garis-garis di wajah lelaki tua itu yang semakin dalam. 

Matanya memerah dan sayu, dengan pundak yang sedikit merosot saat ia turun dari Toyota Kijang LGX tuanya. Namun, cintanya pada putrinya, Nina, lebih besar dari segala rasa lelah itu, membuat senyum tipis tetap bertahan di wajahnya meski tubuhnya jelas memohon istirahat.

“Bapak kangen kamu, Nak. Makanya Bapak datang buat jemput. Bawa dua anakmu juga,” ucapnya lembut, dengan nada penuh kerinduan. Matanya menatap Nina dengan kehangatan yang tak pernah pudar, meski lelah tergambar jelas dari garis di wajahnya. 

Senyumnya kecil tapi tulus, seperti ingin menyembunyikan rasa letih yang diam-diam menghimpitnya. Senyum itu masih ada, meski matanya meredup, memancarkan keletihan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.

Nina membalas senyum itu dengan lirih. “Pak, Nina nunggu Mas Rian dulu. Dia baru pulang besok. Lagi pula, Kakak Bila baru dua minggu sekolah di sini.”

Lelaki tua itu mengangguk perlahan, menarik napas dalam seakan mencari kekuatan dari udara malam. Namun, senyumnya tak pudar. “Bapak sudah bicara sama Rian, Nak. Dia mengizinkan kamu pulang sama Bapak sore ini juga.”

Nina terdiam, menatap layar ponselnya yang terasa semakin dingin di tangannya. Status WhatsApp Rian masih privat, terakhir dilihatnya dua hari lalu, hanya tanda centang satu yang mengiringi pesan-pesan yang tak berbalas. Teleponnya pun tak pernah diangkat. Bahkan, akun Facebook Rian tiba-tiba menghilang. 

Gelisah yang sudah beberapa hari menghantuinya kini mencapai puncaknya. Airmata mulai menitik dari sudut matanya.

Melihat itu, lelaki tua tersebut menarik putrinya ke dalam pelukannya. Dengan lembut, tangannya membelai kerudung biru yang dikenakan Nina. Sentuhan itu penuh kasih, seakan ingin menghapus segala resah yang menguasai hati putrinya.

“Mari pulang bersama Bapak, Nin,” bisiknya pelan, penuh kehangatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. 

Matanya menatap wajah putri bungsunya, yang dulu sering ia gendong dalam pelukan, kini telah menjadi seorang istri dan ibu. Namun, baginya, Nina tetaplah gadis kecilnya yang dulu.

Perlahan, Nina mengangguk. Ada kerinduan yang tak terucap dalam dirinya untuk kembali ke kampung halaman, untuk merasakan kehangatan kasih Bapak dan Ibu yang selalu menyayanginya tanpa syarat. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk menurut. Segera ia mulai berkemas.

Perjalanan pulang itu berlangsung dalam keheningan, mobil tua itu berjalan perlahan meninggalkan semua kisah di belakang. Lelaki tua itu sesekali melirik kaca spion dalam, melihat Nina yang terlelap di jok belakang bersama Raka, bayi laki-lakinya yang baru berusia delapan bulan, yang tertidur pulas dalam pangkuannya. Di kursi depan, Nabila, si sulung, juga sudah terlelap dengan botol susu kosong dalam genggamannya.

Mata lelaki itu berkaca-kaca. Pikirannya melayang pada pembicaraannya dengan Rian lima hari lalu, pembicaraan yang menghantam hatinya seperti badai.

“Maafkan saya, Pak. Saya sudah tidak lagi mencintai Nina. Perasaan saya mulai berubah sejak beberapa waktu lalu, dan saya merasa hubungan kami hanya berjalan di atas rutinitas. Nina terlalu sibuk dengan anak-anak dan rumah tangga, sementara saya merasa kehilangan ruang untuk diri sendiri. Ada seseorang di luar sana yang membuat saya merasa hidup lagi." 

"Saya merasa Nina terlalu sibuk dengan anak-anak dan rumah tangga, hingga kami seperti kehilangan koneksi. Ada seseorang di luar sana yang membuat saya merasa hidup lagi,” suara Rian terdengar tegas di telepon, namun penuh egoisme yang menyakitkan.

“Mas, biar Bapak yang jemput Nina. Jangan bilang kalau kamu sudah tak mencintainya lagi, dan ingin menceraikannya. Bapak yang akan memberitahu Nina nanti. Beri Bapak waktu beberapa hari. Nanti Bapak jemput Nina,” jawabnya kala itu, dengan nada yang bergetar menahan duka.

Lelaki tua itu tahu, alasan Rian memulangkan Nina tidak hanya tentang cinta yang pudar, tetapi tentang rasa tanggung jawab yang gagal ia emban sebagai suami. Dan kini, ia harus menjadi tameng bagi putrinya, melindungi hati Nina dari kebenaran yang terlalu pahit untuk diterima sekaligus.

Airmatanya kini jatuh perlahan, membasahi pipinya yang sudah penuh dengan garis usia. Hatinya terasa seperti disayat setiap kali teringat ucapan menantunya itu.

“Anakku,” batinnya berbicara, “pertama kali kau mendengar suara adalah suaraku. Pertama kali kau merasakan dekapan adalah dekapanku. Maka, saat kau berduka, biar aku yang pertama kali mengobatinya.”

Malam semakin larut, menyelimuti perjalanan mereka dengan kegelapan dan kesunyian. Di dalam hatinya, lelaki tua itu berdoa agar putrinya menemukan kembali cahaya dan kekuatan yang sempat hilang. 

Meski air matanya tak lagi bisa dibendung, ia bertekad untuk menjadi tempat pulang yang penuh cinta bagi Nina, seperti yang selalu ia lakukan sejak dulu.

___________________
Ide: Fiksimini Mak Sri, Rabu, 25 Juli 2018 

Posting Komentar

No Spam, Please.