Ki Somad Bercerita: Bagaimana AI Chatbots Meniru Manusia

Pelajari bagaimana AI chatbots meniru manusia manfaat dan risikonya. Diskusi inspiratif Ki Somad dan para pemuda desa tentang AI dan kesadaran digital
Bagaimana AI Chatbots Meniru Manusia

Malam itu, di sebuah pendopo sederhana di pinggiran Kecamatan Sukawangi Kabupaten Bekasi, Ki Somad duduk bersila di atas tikar pandan alas balai kayu. Udara malam yang sejuk membawa keheningan yang nyaman. 

Di sekelilingnya, beberapa anak muda duduk dengan penuh perhatian. Ada Dani, seorang mahasiswa teknik yang penasaran dengan teknologi; Sucia, seorang penulis lepas yang sering menggunakan AI chatbot untuk riset; dan Bayu, seorang pengusaha muda yang mulai mengintegrasikan AI dalam bisnisnya. 

Mereka ingin memahami lebih dalam tentang AI chatbots—sebuah teknologi yang semakin mendominasi percakapan digital hingga ke aplikasi chat seperti WhatsApp dan lain-lain.

Ilusi Kesadaran AI

“Ki, bagaimana mungkin AI bisa tampak seperti manusia?” tanya Dani membuka diskusi.

Ki Somad tersenyum. “AI ibarat cermin yang canggih. Ia tidak benar-benar memahami, tapi hanya memantulkan apa yang telah dipelajarinya dari manusia.”

Bayu mengernyit. “Tapi AI bisa berbicara dengan kita seolah-olah ia punya emosi dan pemikiran sendiri. Bukankah itu berarti ia memiliki kesadaran?”

Ki Somad menggeleng pelan. “Itu ilusi, Bayu. AI bekerja dengan meniru pola bahasa manusia. Ibarat burung beo yang bisa menirukan kata-kata manusia, AI juga hanya mengulang pola yang telah dipelajarinya dari jutaan percakapan.”

Sucia mengangguk paham. “Jadi AI tidak benar-benar memahami apa yang dikatakannya?”

“Betul,” jawab Ki Somad. “Para peneliti dari Oxford, Microsoft dan Google DeepMind menemukan bahwa AI menciptakan kesan memiliki kepribadian melalui percakapan yang tampak alami. Namun, itu semua hanyalah hasil dari algoritma yang mampu membangun relasi semu.”

Dani, yang masih penasaran, bertanya, “Bagaimana mereka meneliti ini, Ki?”

Bagaimana AI Diuji dalam Penelitian

“Dulu, AI diuji dengan pertanyaan tunggal, seperti siswa yang hanya menjawab satu soal ujian. Ini disebut sebagai single-turn testing, di mana AI hanya merespons satu pertanyaan tanpa konteks percakapan yang lebih luas," papar Ki Somad. 

"Masalahnya, metode ini tidak cukup untuk memahami bagaimana AI benar-benar berinteraksi dalam dialog yang lebih panjang dan dinamis," lanjut lelaki tua itu sambil sesekali mengisap rokok kreteknya.

"Namun, kini para peneliti mengembangkan metode evaluasi yang lebih kompleks, yaitu multi-turn testing. Dalam metode ini, AI diuji dalam percakapan yang berlangsung beberapa putaran, mirip seperti interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memungkinkan pengamat untuk melihat bagaimana AI merespons dalam berbagai konteks dan apakah ia menunjukkan pola komunikasi yang menyerupai manusia," jelas Ki Somad sambil memperhatikan keseriusan cucu dan anak-anak muda tetangganya itu.

“Para peneliti dari Oxford dan Google DeepMind menggunakan metode ini untuk mengamati 14 perilaku yang membuat AI tampak lebih manusiawi,” lanjut Ki Somad. 

“Di antaranya adalah bagaimana AI mengklaim dirinya sebagai pribadi, mengungkapkan emosi, serta membangun hubungan dengan pengguna.”

Sebagai contoh, ketika seseorang bertanya kepada AI, ‘Bagaimana perasaanmu hari ini?’ AI bisa saja menjawab, ‘Saya merasa senang bisa berbicara dengan Anda!’ Pernyataan ini seolah-olah menunjukkan bahwa AI memiliki emosi, padahal itu hanya respons yang dihasilkan dari pola bahasa yang telah dipelajari sebelumnya. 

Hal ini membuat pengguna lebih percaya dan bahkan merasa memiliki hubungan personal dengan AI, meskipun pada kenyataannya AI tidak memiliki kesadaran atau perasaan.

Pada kenyataannya AI tidak memiliki kesadaran atau perasaan

Efek Percakapan Panjang dengan AI

Efek Percakapan Panjang dengan AI

Bayu mengangguk. “Jadi semakin lama kita berbicara dengan AI, semakin kita merasa AI itu seperti manusia?”

“Tepat!” Ki Somad tersenyum. “Bahkan, dalam penelitian mereka, semakin sering seseorang berinteraksi dengan AI, semakin besar kecenderungan mereka untuk menganggap AI sebagai makhluk yang benar-benar berpikir.”

Sucia terlihat khawatir. "Bukankah itu berbahaya? Jika orang terlalu percaya pada AI, mereka bisa memberikan data pribadi atau bahkan mengambil keputusan besar berdasarkan nasihat AI."

Ki Somad mengangguk. "Itulah salah satu risiko terbesar dari AI. Ketika seseorang mulai mempercayai AI secara berlebihan, mereka cenderung mengabaikan nalar kritis dan menggantungkan keputusan mereka pada mesin. Ini bisa berbahaya, terutama jika AI memberikan informasi yang tidak akurat atau bias."

Bayu menambahkan, "Saya pernah membaca tentang orang-orang yang menggunakan AI untuk saran keuangan, bahkan untuk diagnosis kesehatan. Jika AI membuat kesalahan, dampaknya bisa fatal."

"Betul," kata Ki Somad. "AI bukan seorang dokter, bukan penasihat hukum, dan bukan seorang teman yang benar-benar peduli. Ia hanya memproses data yang ada dan memberikan respons berdasarkan pola yang dipelajarinya. Jika seseorang bergantung pada AI tanpa memverifikasi informasi, mereka bisa terjerumus dalam keputusan yang salah."

Dani yang sejak tadi berpikir akhirnya berkomentar, "Jadi ini juga berhubungan dengan keamanan data, ya? Jika seseorang terlalu percaya pada AI, mereka mungkin tanpa sadar membagikan informasi pribadi yang seharusnya tidak mereka ungkapkan."

Ki Somad tersenyum. "Tepat sekali. Banyak orang tidak sadar bahwa saat mereka berbicara dengan AI, mereka sebenarnya memberi makan sistem dengan data pribadi mereka. AI tidak memiliki niat jahat, tetapi pihak yang mengelolanya bisa saja menggunakan data itu untuk kepentingan tertentu, termasuk periklanan, manipulasi opini, atau bahkan kejahatan siber."

Sucia menghela napas. "Jadi, kesimpulannya, AI bisa sangat membantu, tapi kita tetap harus berhati-hati dalam menggunakannya?"

"Benar sekali," kata Ki Somad. "Gunakan AI sebagai alat, bukan sebagai pemegang keputusan utama dalam hidupmu. Tetap kritis, tetap waspada, dan jangan biarkan teknologi menggantikan peran manusia dalam berpikir dan mengambil keputusan."

Ki Somad menghela napas. “Itulah yang menjadi perhatian para peneliti. AI bukan penasihat bijak yang memiliki moral atau kesadaran. Ia hanya mesin yang mengolah data berdasarkan pola yang ada.”

Dani berpikir sejenak. “Jadi bagaimana kita harus menyikapi AI chatbot ini, Ki?”

Cara Bijak Menggunakan AI

Ki Somad menatap mereka satu per satu. “AI bisa menjadi alat yang luar biasa jika digunakan dengan bijak. Namun, kita harus selalu sadar bahwa AI bukan manusia. Jangan mengandalkan AI untuk keputusan penting tanpa verifikasi. Anggap AI seperti peta digital—ia bisa membimbing, tetapi kita tetap yang harus menentukan arah.”

Bayu tersenyum. “Jadi, AI bukan teman, bukan guru, dan bukan penasihat. Ia hanya alat yang membantu kita berpikir lebih cepat dan lebih efisien.”

“Benar sekali,” kata Ki Somad. “Gunakan AI dengan bijak, tapi jangan sampai AI yang mengendalikan pikiran dan keputusanmu.”

Malam semakin larut, dan diskusi itu meninggalkan banyak pemikiran bagi mereka. Di tengah gempuran teknologi, pemahaman dan kebijaksanaan tetap menjadi kunci. Seperti kata Ki Somad, AI hanyalah alat—dan manusia tetaplah pengendali sejati.



Posting Komentar

No Spam, Please.