Belajar Public Speaking

Siang itu, di balai kayu warung kopi yang menghadap Sungai Jingkem, tiga orang duduk lesehan menikmati hidangan mbari kongko.
Di tengah mereka, tersedia mug kopi hitam pekat yang masih ngebul dan dua es teh. Daun mangrove bergoyang pelan diterpa angin pesisir laut utara Bekasi yang lembut. Suasana di Kampung Sembilangan seperti biasa: tenang, tapi di warung tepian Sunge Jingkem gak pernah sepi dari obrolan apa bae.
Ki Somad, lelaki tua berkulit legam dengan rambut mulai putih dan keriput, duduk santai sambil menikmati rokok kretek. Di sebelahnya ada Pio, gadis muda yang baru lulus sekolah tapi lidahnya masih sering kelilit kalau harus ngomong di depan umum.
Di sebelahnya, ada Iphi, tetangganya di Kampung Kaloran Sembilangan yang sering sok yakin, tapi sebenarnya grogi setengah mati kalau diminta sambutan acara RT.
“Ki,” buka Pio sambil nyeruput es teh, “Gimana sih caranya biar jago ngomong di depan umum kayak Mpok Iphi? Kemarin disuruh ngomong depan majelis, tangan ampe kaki saya dingin, suara udah kayak nelen mic.”
Iphi nyengir, “Makanya, ngaca dulu sebelum ngomong, biar percaya diri. Nih liat gue, tiap rapat RT ngomong terus!”
Ki Somad tertawa pelan, “Ngomong banyak belum tentu didenger, Phi. Kadang yang sedikit tapi tulus justru lebih nancep di hati orang.”
Tulus, Bukan Pinter Ngomong
Pio manggut-manggut. “Jadi harus ngomong dari hati, gitu, Ki?”
“Betul,” Ki Somad mengangguk, “Ngomong dari hati itu kayak masak pakai kompor dewek. Meski sederhana, rasanya nikmat. Kata Richard Branson, orang Inggris yang suka jualan pesawat itu, dia juga grogi kalo ngomong di depan umum. Tapi dia bilang, yang paling penting itu: tulus.”
Iphi nyeletuk, “Tapi tulus doang mah kadang gak cukup, Ki. Kalo suara kayak orang ngegerendeng terus, ya gak jelas jadi males dengernyah.”
Ki Somad terkekeh, “Makanya, tulus itu bukan soal nada. Tapi niat. Kalau niatnya bener, nada bisa dilatih.”
Ngomong Pakai Rasa, Gak Cukup Cuma Gaya
“Trus gimana biar gak kaku, Ki?” tanya Pio lagi.
“Pilih topik yang kamu suka,” jawab Ki Somad. “Kalo yang kamu bahas hal-hal atau topik yang kamu sukai, semangatmu itu bakal menular ke pendengar.”
Iphi menyahut lagi, “Kalo saya sih lebih suka bahas harga cabe, semua orang langsung merhatiin.”
“Ya itu juga bisa,” Ki Somad mengangguk, “Selama kamu semangat, orang bakal nyimak. Kayak pidato Bung Karno, bukan karena panjangnya, tapi karena semangatnya. Kata Bung Karno: ‘Berikan aku 10 pemuda yang mencintai tanah air, maka akan kuguncangkan dunia.’”
Bumbu Humor, Biar Gak Hambar
“Eh Ki,” Pio menyenggol, “Kadang kepikiran mau nyelipin humor, tapi saya takut becandaan saya garing. Gimana dong?”
“Gak usah maksa lucu,” jawab Ki Somad, “Kadang senyum kecil aja cukup. Kalo bisa, kasih humor di awal, tengah, dan akhir. Tapi kalo gak yakin, cukup senyum. Daripada maksa bikin orang ketawa, malah garing.”
Iphi nyengir, “Saya pernah nyoba ngelucu, biar orang inget. Waktu saya bilang ‘RT kita perlu reformasi struktural berbasis gotong royong’, eh semua pada ketawa. Padahal saya waktu itu lagi serius.”
“Ya itu karena kamu ngomongnya kayak jurkam calon dewan sih, Phi,” kata Ki Somad sambil menahan tawa.
Jangan Jumawa, Tetap Sederhana
Ki Somad melanjutkan, “Tapi inget, jangan sombong. Ngomong itu bukan buat pamer ilmu. Tapi buat nyambungin pikiran.”
Pio mengangguk, “Berarti juga harus rendah hati ya, Ki?”
“Betul,” Ki Somad membenarkan posisi duduknya. “Kayak Nabi Muhammad SAW, beliau itu orator ulung, tapi tetap sederhana gayanya. Gak pernah ngerasa lebih tinggi dari yang diajak bicara.”
Jadi Diri Sendiri Aja
“Ki, boleh gak kalo saya ngomong niru-niru gaya ngomong YouTuber. Biar keren gitu?,” Pio mengaku.
Ki Somad geleng kepala. “Gak usah jadi orang lain. Jadi diri sendiri aja. Yang otentik itu lebih dipercaya. Orang bisa ngerasain mana yang asli, mana yang palsu. Public speaking bukan akting, tapi nyampein pesan dari hati.”
Kasih Nilai, Bukan Basa-Basi
“Terus,” kata Iphi sambil nyeruput teh, “harus kasih isi yang bermanfaat juga ya?”
“Bener,” kata Ki Somad. “Orang itu dengerin karena pengen dapet sesuatu. Nilai. Ilmu. Inspirasi. Bukan cuma cerita ngalor-ngidul. Jadi jangan ngomong cuma buat denger suara sendiri. Ngomonglah biar orang dapet manfaat.”
Grogi Itu Wajar, Tapi Jalan Terus
Pio diam sebentar lalu berkata, “Tapi Ki, saya masih aja gugup tiap disuruh ngomong…”
Ki Somad menatap perahu yang lewat sejenak, seperti menikmati nada suara etek-etek dari mesin perahu, kemudian ia menjawab. “Semua orang juga pernah gugup, Pio. Bahkan pembicara hebat pun pernah deg-degan. Tapi mereka tetep maju. Rasa takut itu tanda kamu sedang bertumbuh.’ Jadi, jangan tunggu gak grogi. Rasain aja, tapi jalan terus.”
Iphi mengangguk, “Jadi kalo deg-degan itu justru bagus ya, Ki?”
“Betul, Phi. Itu artinya kamu peduli. Yang penting, jangan biarin rasa takut itu bikin kamu diam. Karena diam, kadang bikin kita nyesel.”
Rasa takut itu tanda kamu sedang bertumbuh.

Sebelum bubar, Ki Somad menyandarkan punggungnya ke tiang balai, lalu berkata pelan, “Ingat sabda Nabi, ‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik, atau diam.’
Artinya, kalau kita mau ngomong, pastikan itu bermanfaat. Tapi kalo gak bisa, lebih baik diam. Public speaking itu bukan soal tampil keren, tapi juga soal bertanggung jawab atas setiap kata.”
Pio dan Iphi terdiam sejenak. Angin pesisir laut berembus pelan, membawa suara kicau burung pantai dan aroma garam yang menenangkan.
“Berarti, belajar public speaking itu bukan buat tampil, tapi buat nyambungin hati sama orang ya, Ki?” tanya Pio.
“Betul,” Ki Somad tersenyum, “Ngomong itu bukan soal mulut, tapi soal penyampaian pesan dari hati yang pengen didengerin.”
Dan siang itu, di balai kayu yang sederhana, satu pelajaran penting ditulis bukan di papan tulis, tapi di hati anak-anak muda yang siap belajar bicara… dengan makna.