
Di ujung kampung Sembilangan Bekasi pesisir, tepatnya di samping kali Kaloran yang airnya masih bening walau suka bercampur daun-daunan kering, berdiri warung kopi sederhana.
Balai bambunya menghadap rimbunan mangrove dan tambak Pak RT Jacky, tetangga sebelah juragan keripik. Di situlah Ki Somad biasa nongkrong—si bijak kampung, tukang ngebul kretek, dan filsuf dadakan yang selalu punya cara damai menyelesaikan keributan warga.
Pagi itu, dua anak muda, Umam dan Algi, datang dengan raut muka yang kusut. Umam, si kutu buku, baru lulus kuliah. Algi, lebih suka jualan online dan ikut komunitas teater. Dua sahabat ini sering beda pandangan, tapi akur karena satu hal: mereka suka ngopi di warung Ki Somad.
“Ki, orang tua gue kemarin bilang gue harus cari kerja kantoran yang ‘pake otak’. Katanya, IQ gue lumayan,” keluh Umam sambil menyeruput kopi.
“Lah terus kenapa lo sedih?” tanya Algi.
“Karena... gue gak yakin itu hidup yang gue mau. Kadang gue ngerasa pintar, tapi gampang stres. Apalagi kalo ditolak HRD,” jawab Umam.
Algi nyengir, “Makanya, jangan cuma ngandelin IQ. Hidup mah butuh EQ juga. Gue mah sering ditolak juga, tapi enjoy aja, main teater, jualan keripik, ketemu orang baru... jalanin aja!”
Ki Somad tertawa kecil, suaranya seperti batang bambu yang digesek angin.
“Hehehe... Nah ini menarik. Lo berdua bawa topik bagus: macam-macam kecerdasan. Nih, coba sini merapat, sambil ngopi... gue ceritain pelan-pelan ya,” katanya sambil menyalakan kretek.
Kecerdasan Itu Bukan Cuma Otak Tajam
“Dulu,” ujar Ki Somad, “waktu kakek gue masih muda, orang pintar itu cuma satu: yang jago ngitung, bisa baca kitab, atau ngerti hukum. Itu yang sekarang lo sebut IQ, kecerdasan intelejensi. Tapi zaman berubah.”
Ia melirik Umam, “Lo IQ-nya bagus, tapi gampang galau. Itu tandanya EQ atau kecerdasan emosi lo masih perlu dilatih.”
Umam mengangguk pelan, “Emangnya kecerdasan emosi (EQ) itu yang kayak gimana, Ki?”
“EQ itu kecerdasan emosional, Nak. Contohnya... sabar pas ditolak cinta, bisa bedain antara marah sama kecewa, dan tau kapan mesti diem waktu debat. Bisa jujur, tanggung jawab, dan gak baperan. Lo tau gak? Orang yang punya EQ tinggi, lebih gampang naik jabatan karena bisa jaga hubungan, bukan cuma karena pintar doang.”
Algi nyeletuk, “Berarti cocok buat mantan gue tuh Ki. EQ-nya tinggi, bisa pura-pura baik walau udah nyakitin gue...”
Semua ketawa. Ki Somad geleng-geleng.
Sosial Itu Karisma, Bukan Basa-basi
“Lalu ada juga yang namanya kecerdasan sosial atau SQ, Social Quotient,” lanjut Ki Somad. “Itu ukuran seberapa pinter lo bergaul dan bikin orang betah. Kayak lo, Gi. Lo tuh punya SQ tinggi. Bisa bikin temen terhibur, bikin ketawa, ngajak diskusi tanpa bikin orang sebel.”
Algi tersipu-sipu, “Ah, biasa aja kalih, Ki…”
“Jangan merendah kalau bisa bikin orang senang,” Ki Somad menepuk pundaknya. “Lo punya karisma. Beda sama orang yang cuma ngandelin IQ, tapi ngomongnya kaku kayak robot, gak bisa becanda gak bisa basa-basi.”
Umam ngangguk, “Gue paham sekarang. Jadi hidup tuh gak cukup pake otak. Harus pake hati dan mulut juga.”
Hidup tuh gak cukup pake otak. Harus pake hati dan mulut juga ~ Umam.
AQ, Kecerdasan yang Jarang Dibahas Tapi Paling Dibutuhkan
Ki Somad mendadak serius. “Tapi... yang paling penting buat hidup sekarang itu AQ. Pernah denger?”
Keduanya geleng.
“AQ itu Adversity Quotient. Ukuran seberapa kuat lo pas hidup ngasih lo batunya, bahasa gampangnya "keuletan" atau kekuatan mental. Lo ditolak kerja, putus cinta, gagal bisnis, diputus listrik. Siapa yang bertahan? Yang AQ-nya tinggi.”
Algi manggut-manggut, “Berarti kayak mental baja ya, Ki?”
“Betul. Tapi bukan cuma kuat. Orang dengan AQ tinggi tuh fleksibel. Kayak bambu, bukan beton. Kalo angin gede, bambu nunduk dulu, tapi gak patah.”
Umam mencatat di notes ponselnya, “Jadi kita harus latih semuanya ya, Ki? IQ, EQ, SQ, AQ?”
Ki Somad mengisap kreteknya, “Iya. Lo harus jadi manusia yang lengkap. Gak sempurna, tapi utuh. Jangan cuma jadi anak pintar, jadilah anak tangguh, rendah hati, dan disayang orang.”
Konflik, dan Penyelesaiannya ala Ki Somad
Tiba-tiba Algi nyeletuk, “Tapi Ki, bukannya dunia sekarang lebih butuh yang pintar teknologi dan data? EQ-SQ mah bagus, tapi kan gak ngasih duit?”
Umam langsung nyeplos, “Lah, itu yang bikin hidup lo kayak gitu, Gi. Jalan doang, gak mikirin jangka panjangnya!, ibarat bocah naek motor, ngebut kenceng padahal ora danta tujuannya mau kemanah!”
Suasana jadi panas. Dua sahabat mulai saling sindir dengan sengit.
Ki Somad mengangkat tangan, “Hei hei hei... ngopi dulu, tarik napas. Lo berdua bener, tapi setengah-setengah. Dunia butuh orang yang bisa kerja, dan bisa kerja bareng. Butuh yang pinter mikir dan pinter mikirin orang lain biar bisa kerja tim.”
Ia melanjutkan, “Jadi... IQ itu bekal. EQ dan SQ itu kendaraan. AQ itu bahan bakarnya. Kalo lo punya semua, lo gak cuma jalan... lo bisa sampai tujuan.”
“Hidup ini bukan perlombaan lari cepat. Tapi maraton yang butuh nafas panjang, hati tenang, dan otak yang gak beku.” – Ki Somad
Bekal Filosofis dari Pinggir Kali
Langit mulai jingga. Burung jalak terbang rendah. Ki Somad berdiri, menepuk bahu Umam dan Algi.
“Inget ya, anak-anak. Kami semua termasuk orang tua kalian gak bisa menyiapkan jalan yang mulus buat kalian, tapi kalian sudah dibekali, dimodali dan disiapkan untuk mampu menjalani hari esok menuju masa depan. Dunia ini gak datar, banyak lubangnya. Bukan siapa yang paling pintar yang menang, tapi siapa yang paling bisa bertahan dan beradaptasi.”
“Ki Somad banget tuh,” celetuk Algi sambil tertawa kecil.
“Besok-besok,” tambah Umam, “ngopi sambil bahas cinta dong, Ki. Biar lengkap: IQ, EQ, SQ, AQ, dan... HQ. Heart Quotient.”
Ki Somad tertawa terbahak, “Wah, itu mah kudu cerita semalam suntuk. Tapi siap, kapan aja. Asal ada kopi dan kretek, insyaallah saya akan hadir berbagi dan kongko bermanfaat!”
Obrolan ringan di balai kayu warung pinggir kali itu bukan cuma tentang teori psikologi, tapi tentang bagaimana kita menyikapi hidup dengan akal, hati, dan rasa. Karena pada akhirnya, kecerdasan bukan hanya soal nilai tinggi, tapi soal nilai hidup.