Di kaki pegunungan yang megah, tersembunyi sebuah desa kecil di mana suku pedalaman hidup selaras dengan alam yang penuh misteri dan keajaiban.
Desa itu dikelilingi hutan lebat, aliran sungai jernih yang berkelok-kelok, dan udara segar yang selalu menyapa setiap pagi.
Warga suku dikenal karena kebijaksanaan mereka yang diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu tokoh yang paling dihormati adalah kepala suku mereka, seorang pria tua yang kerap disapa Ki Somad.
Suatu hari, mendung mulai menyelimuti langit desa. Warga berkumpul di balai desa, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran.
Seorang pria muda bernama Bima bertanya kepada Ki Somad, “Kepala suku, apakah musim hujan yang akan datang akan menyebabkan banjir besar di kampung kita? Kita harus bersiap jika itu benar.”
Ki Somad, yang tidak memiliki alat canggih untuk meramal cuaca, merasa bimbang. Namun, warga mempercayainya karena kebijaksanaan dan pengalaman panjangnya dalam membaca tanda-tanda alam serta kemampuannya menjaga ketenangan desa.
Namun, dia tahu bahwa tugasnya adalah menjaga ketenangan warga. Setelah berpikir sejenak, dia menjawab dengan nada penuh keyakinan, “Ya, kita mungkin akan menghadapi musim hujan yang ekstrem. Mulailah mengumpulkan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh!”
Warga segera bergerak. Mereka memotong kayu di hutan, menyimpannya dalam gudang, dan mempersiapkan diri untuk musim hujan yang panjang. Namun, di dalam hatinya, Ki Somad merasa perlu memastikan kebenaran ucapannya.
Diam-diam, dia pergi ke kota terdekat dan menelepon seorang kenalannya yang bekerja di kantor bantu pos pemantauan cuaca milik Jawatan Pengendali Cuaca Negara Konoha, mungkin semacam Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) versi sederhana.
“Apakah musim hujan yang akan datang akan menyebabkan banjir?” tanya Ki Somad.
Pegawai Jawatan Pengendali Cuaca itu menjawab, “Ya, sepertinya cuaca akan menjadi ekstrem dan berpotensi menyebabkan bencana hidrometeorologi. Berhati-hatilah.”
Mendengar itu, Ki Somad merasa lega. Dia kembali ke desanya dan memberi instruksi tambahan kepada warga. “Musim hujan yang akan datang akan lebih panjang dan lebih deras dari biasanya,” katanya.
“Angkat buah-buahan dan bibit ke bubungan rumah, bersihkan saluran air dan sungai, serta kumpulkan kayu bakar yang lebih banyak.”
Warga mengikuti instruksi tersebut dengan tekun. Mereka bekerja sama, membersihkan sungai, memperkuat tanggul, dan memastikan semuanya siap menghadapi musim hujan.
Namun, beberapa hari kemudian, rasa penasaran kembali menghantui Ki Somad. Untuk memastikan ramalannya tetap akurat, dia kembali menelepon kenalannya di Jawatan Pengendali Cuaca.
“Apakah ramalan cuaca masih sama?” tanyanya.
Pegawai Jawatan Pengendali Cuaca menjawab dengan nada serius, “Musim hujan kali ini sepertinya akan sangat mengkhawatirkan. Ini mungkin akan menjadi musim hujan yang menyebabkan banjir lima tahunan!”
Ki Somad terkejut mendengar kepastian itu. “Bagaimana Anda bisa memprediksi hal itu?” tanyanya.
Pegawai Jawatan Pengendali Cuaca menjawab, “Karena saat ini saya lihat suku pedalaman sedang mengumpulkan kayu bakar secara besar-besaran dan mereka membersihkan saluran air hingga sungai dengan keras. Tindakan itu sepertinya menandakan persiapan untuk menghadapi bencana.”
Ki Somad terdiam sejenak. Dia menyadari bahwa tindakan warga yang didasari atas kata-katanya sendiri telah menjadi indikator bagi pegawai pos Jawatan Pengendali Cuaca.
Dengan senyum kecil, dia berterima kasih atas informasinya dan menutup telepon. Sekembalinya ke desa dia tidak mengatakan kepada warga apa yang telah terjadi, tetapi di dalam hatinya, dia merenungkan sebuah pelajaran besar.
Dalam kehidupan, terkadang kita bergantung pada orang lain untuk mencari kepastian, seperti halnya seorang anak yang menunggu jawaban dari orang tua, tanpa menyadari bahwa mereka juga mungkin hanya memantulkan tindakan kita sendiri.
Seperti lingkaran yang saling terhubung, keputusan, tindakan, dan keyakinan kita dapat membentuk realitas yang kita percayai.
Ketika musim hujan akhirnya tiba, hujan turun dengan deras, tetapi desa itu tetap aman. Persiapan yang dilakukan warga membuat mereka mampu menghadapi tantangan dengan tenang.
Dari pengalaman itu, warga dan Ki Somad belajar bahwa kebijaksanaan tidak selalu datang dari luar, melainkan juga dari tindakan bersama dan keyakinan yang dijalankan dengan hati-hati.
Desa itu tetap berdiri kokoh di kaki gunung, menjadi simbol dari keharmonisan antara manusia dan alam, serta kekuatan komunitas yang saling percaya.
Dan Ki Somad, seperti biasa, tetap menjadi sosok yang dihormati — bukan karena ramalannya selalu benar, tetapi karena ia menginspirasi warga untuk bersiap menghadapi apa pun dengan penuh kebijaksanaan dan kerja sama.