Kenali Fenomena "Soft Quitting" yang Bisa Jadi Alarm Bahaya
Pernahkah kamu merasa hari-hari di kantor terasa begitu monoton? Atau mungkin kamu mulai menunda-nunda pekerjaan dan kurang bersemangat dalam rapat? Jika iya, kamu mungkin sedang mengalami yang disebut "soft quitting".
Ini bukan berarti kamu harus langsung mengundurkan diri. "Soft quitting" adalah kondisi di mana seseorang secara perlahan-lahan mulai mengurangi keterlibatan dan antusiasme mereka dalam pekerjaan.
Yuk, kita kupas tuntas apa itu soft quitting, kenapa ini jadi masalah besar, dan gimana kita bisa mencegahnya. Siap? Let's go!
Apa Itu Soft Quitting?
Kalau quiet quitting berarti karyawan hanya melakukan tugas minimal sesuai deskripsi kerja, soft quitting adalah cerita lain. Ini lebih ke perubahan sikap diam-diam yang seringkali nggak terdeteksi, bahkan oleh manajer paling jeli sekalipun.
Misalnya, seseorang yang dulu semangat banget kasih ide sekarang cuma jawab, "Terserah, deh." Atau, rekan kerja yang dulunya jago cari solusi sekarang malah sibuk nunggu orang lain ambil alih.
Fenomena ini mirip dengan konsep lying flat dari China yang viral pada 2021. Di sana, anak muda mulai menolak tekanan hidup modern dan memilih gaya hidup minimalis.
Sounds familiar? Ya, generasi muda di seluruh dunia makin banyak yang punya sentimen serupa. Laporan Gallup bahkan mencatat penurunan keterlibatan tenaga kerja yang signifikan karena ini.
Soft Quitting vs Quiet Quitting: Apa Bedanya?
Bedanya, quiet quitting itu jelas terlihat. Orangnya benar-benar mundur dari usaha ekstra, kayak bilang, "Gue cuma mau kerja sesuai kontrak, nggak lebih." Sebaliknya, soft quitting itu kayak api dalam sekam.
Dari luar, karyawan masih terlihat bekerja. Tapi secara emosional? Mereka udah nggak "hadir." Antusiasme hilang, rasa ingin tahu memudar, dan hubungan mereka sama pekerjaan jadi hambar banget.
Masalahnya, karena tanda-tandanya halus, soft quitting sering nggak ketahuan sampai dampaknya udah parah. Produktivitas turun, moral tim kena, dan akhirnya, budaya di tempat kerja pun terganggu.
Jadi, kalo "quiet quitting" lebih fokus pada pengurangan output kerja, "soft quitting" lebih berkaitan dengan perubahan sikap dan motivasi. Ini seperti ketika kita memiliki tanaman kesayangan, tapi kita lupa menyiramnya setiap hari.
Lambat laun, tanaman itu akan layu dan mati. Begitu pula dengan semangat kerja kita, jika tidak dirawat dengan baik, akan mudah layu dan mati.
Contoh Nyata Soft Quitting
Bayangin ini: Bisot, seorang desainer grafis, dulunya selalu jadi pusat ide-ide kreatif di timnya. Tapi setelah merasa capek dengan tuntutan kerja yang nggak pernah berhenti, dia mulai menarik diri.
Bisot memang masih ngerjain tugas-tugasnya, tapi nggak lagi ngasih saran atau mencoba hal baru. Akhirnya, timnya jadi stagnan karena nggak ada lagi inovasi segar. Bisot nggak resign, tapi dampaknya sama aja: kehilangan kontribusi penting.
Tanda-Tanda "Soft Quitting"
- Kurang berinisiatif: Dulu kamu selalu mencari cara baru untuk meningkatkan kinerja, tapi sekarang kamu lebih suka menunggu perintah.
- Sulit fokus: Pikiranmu sering melayang ke hal lain saat sedang bekerja.
- Kurang peduli: Kamu tidak lagi peduli dengan hasil kerja tim atau keberhasilan proyek.
- Sering sakit: Kamu lebih sering absen atau izin sakit karena merasa tidak bersemangat untuk bekerja.
- Merasa bosan: Setiap hari terasa sama dan membosankan.
Penyebab "Soft Quitting"
Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan seseorang mengalami "soft quitting", di antaranya:
- Kurangnya tantangan: Pekerjaan yang monoton dan tidak menantang bisa membuat seseorang merasa bosan dan kehilangan motivasi.
- Tidak adanya penghargaan: Jika merasa usaha dan prestasi tidak dihargai, seseorang akan kehilangan semangat untuk bekerja lebih keras.
- Ketidaksesuaian antara nilai pribadi dan nilai perusahaan: Ketika nilai-nilai yang dianut perusahaan bertentangan dengan nilai pribadi, seseorang akan merasa tidak nyaman dan sulit untuk beradaptasi.
- Burnout: Terlalu banyak bekerja tanpa istirahat yang cukup bisa menyebabkan burnout dan membuat seseorang kehilangan semangat.
Gimana Cara Mencegah Soft Quitting?
Nah, buat para pemimpin atau manajer, ini PR besar. Tapi jangan khawatir, ada langkah-langkah konkret yang bisa diambil:
Bangun Hubungan yang Kuat Selalu cek kondisi karyawan, bukan cuma soal kerjaan, tapi juga kesejahteraan emosional mereka. Sesi ngobrol santai bisa jadi pembuka insight yang nggak terduga, lho! Seperti yang dikatakan oleh Dr. Carol Dweck, seorang profesor psikologi di Stanford University, "Lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan koneksi emosional membantu individu tetap termotivasi dan berkembang."
Ciptakan Makna dalam Pekerjaan Pastikan setiap anggota tim merasa bahwa pekerjaan mereka punya dampak nyata. Misalnya, kalau timmu di bidang kreatif, tunjukkan bagaimana hasil kerja mereka memengaruhi pelanggan. Sebagaimana motivator terkenal Simon Sinek mengatakan, "Ketika orang merasa pekerjaan mereka terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, mereka cenderung memberikan yang terbaik."
Kasih Ruang untuk Berkembang Buka peluang untuk karyawan ikut pelatihan, mentoring, atau bahkan mencoba proyek lintas fungsi. Ini bikin mereka nggak cuma berkembang profesional, tapi juga merasa dihargai.
Fokus pada Kolaborasi dan Keingintahuan Dorong tim untuk saling belajar dan bereksperimen. Misalnya, bikin sesi sharing mingguan di mana setiap orang bisa berbagi insight baru.
Realitas: Sulitnya Mencari Kerja di Era Kompetitif
Saat ini, persaingan di dunia kerja semakin ketat. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa proses rekrutmen menjadi semakin selektif, terutama untuk posisi yang menawarkan peluang karier jangka panjang. Karena itu, penting banget untuk menunjukkan performa terbaik di tempat kerja.
Dengan memiliki rekam jejak yang baik, kamu nggak cuma membangun reputasi profesional, tapi juga membuka peluang kenaikan karier di masa depan. Ingat kata Zig Ziglar, motivator legendaris: "Kesuksesan terjadi ketika kesempatan bertemu dengan persiapan."
Kesimpulan: Jangan Biarkan Soft Quitting Diam-Diam Menggerogoti
Soft quitting itu ibarat virus yang pelan-pelan merusak sistem. Kalau nggak diantisipasi, hasilnya bisa fatal, baik buat individu maupun organisasi. Jadi, yuk, mulai sekarang, bangun budaya kerja yang bikin orang merasa "hidup" di tempat kerja.
Saat karyawan benar-benar terlibat, mereka nggak cuma kasih skill terbaik mereka, tapi juga energi dan semangat yang bikin perusahaan terus maju.
Jadi, sudahkah kamu terlibat penuh di tempat kerja, atau jangan-jangan diam-diam kamu juga soft quitting? Let’s reflect and grow together!