Senja di Kali CBL: Diskusi Santai soal Mutasi dan Loyalitas ASN

Senja di Sawah dan Pinggir Kali CBL yang Keruh
Di tepi Kali CBL Bekasi, di bawah pohon rindang yang akarnya mencengkeram tanah penuh sampah, berdiri sebuah warung kopi kecil. Bangunannya sederhana, terbuat dari kayu dengan atap seng yang sudah mulai berkarat.
Beberapa lelaki duduk di balai-balai kayu depan warung, menyeruput kopi hitam pekat sambil mengamati air kali yang mengalir lamban, membawa sampah rumah tangga dan limbah industri.
Di antara mereka, ada Pak Haji Samin, pensiunan pegawai negeri yang kini menghabiskan hari tuanya dengan berdiskusi santai bersama anak-anak muda kampung sekitaran CBL. Ada juga Dani, mahasiswa semester akhir yang gemar mengulik isu-isu pemerintahan.
Lalu ada Iwan, buruh pabrik yang selalu penasaran dengan politik daerah. Sore itu, mereka terlibat dalam obrolan seru soal kebijakan mutasi ASN yang sedang ramai dibahas di Kabupaten Bekasi.
"Denger-denger Bupati Bekasi yang baru ngasih peringatan keras ke pejabat Pemkab, yak?" tanya Dani, membuka percakapan.
Pak Haji Samin mengangguk pelan. "Iya, dia minta para kepala OPD dan pejabat lainnya harus loyal. Kalau nggak, bisa dicopot."
Iwan mengernyitkan dahi. "Tapi kan loyalitas ASN itu seharusnya ke negara, bukan ke bupati, gubernur atau presiden sekalipun. Bukannya ada aturan tentang itu?"
Pak Haji tersenyum. "Betul, Wan. ASN itu abdi negara, bukan abdi kepala daerah atau kepala negara. Kepemimpinan datang dan pergi, paling 5 tahun sudah berganti, tapi pemerintahan harus tetap berjalan sesuai aturan. Ini yang kadang disalahartikan."
Dani menimpali, "Mirip kayak zaman feodal raja-raja dulu. Kalau nggak sesuai maunya, bisa disingkirkan. Tapi apanan sekarang, kita hidup di negara hukum. Semua ada aturannya. Mutasi itu ada dasar hukumnya, bukan soal suka atau nggak suka."
Mutasi ASN: Antara Aturan dan Kepentingan
Iwan mengambil rokoknya, menyalakan dengan korek kayu, lalu berkata, "Tapi, mutasi itu juga penting buat penyegaran birokrasi, kan? Biar nggak ada yang terlalu nyaman di satu posisi."
Pak Haji mengangguk. "Betul, makanya mutasi ada aturannya. Malayu Hasibuan bilang, mutasi itu bikin pegawai lebih berkembang, nggak bosan, dan pemerintahan lebih merata. Tapi kalau dipakai buat balas dendam politik, itu yang bahaya."
Dani menyandarkan punggungnya ke tiang warung. "Kayak kasus-kasus di daerah lain. Pejabat yang nggak dukung bupati waktu pemilu, mendadak dipindahin ke posisi yang nggak strategis. Atau malah didepak. Ini kan bukan reformasi birokrasi, tapi balas budi politik."
Pak Haji Samin menghela napas panjang. "Itulah yang disebut penyalahgunaan wewenang. Seorang kepala daerah punya kekuasaan, tapi tetap ada batasan. Kalau ngawur, bisa kena sanksi. Ada asas-asas umum pemerintahan yang baik yang harus diikuti. Bahkan, penyalahgunaan wewenang bisa berujung pidana. Pasal 3 Undang-Undang Tipikor bilang, kalau seorang pejabat menyalahgunakan kekuasaannya hingga merugikan negara, bisa dipenjara. Jadi ini bukan cuma soal etika, tapi juga bisa masuk ranah hukum."
Iwan menimpali, "Tapi, siapa yang bisa menghentikan kepala daerah yang sewenang-wenang?"
"Ombudsman dan PTUN," jawab Dani cepat. "Masyarakat bisa mengadu kalau ada tindakan maladministrasi, termasuk ASN yang dimutasi nggak sesuai aturan. Apalagi kalau terbukti ada motif politik atau nepotisme."
Pak Haji mengangguk. "Negara kita ini negara hukum. Segala keputusan aparat pemerintah harus berdasarkan aturan administrasi pemerintahan (adpem), bukan perasaan. Kalau seorang pejabat mau dicopot, harus jelas alasannya. Misalnya, kalau target kerja nggak tercapai, baru bisa dievaluasi."

Politik dan Birokrasi: Harus Berjalan Seimbang
Langit mulai memerah di ufuk barat, bayangan warung kopi semakin panjang di tepi kali yang airnya keruh. Angin sore membawa aroma tidak sedap dari sampah yang mengapung di sungai kali Cikarang Bekasi Laut (CBL) yang direncanakan pada 1973 dan selesai dibangun pada tahun 1980 oleh proyek irigasi Jatiluhur.
"Jadi, menurut Pak Haji, apa solusinya biar nggak ada penyalahgunaan wewenang dalam mutasi ASN?" tanya Dani.
Pak Haji tersenyum. "Sederhana, tapi sulit dilakukan. Kepala daerah harus sadar bahwa dia hanya sementara. Pemerintahan harus dijalankan sesuai aturan, bukan karena kepentingan pribadi. Kalau ada mutasi, harus sesuai kompetensi, bukan karena faktor suka atau tidak suka. ASN juga harus profesional, bukan jadi alat politik."
Iwan menepuk pundak Pak Haji. "Kalau pejabatnya nggak ngerti aturan, bisa-bisa warung kopi ini lebih banyak aturannya daripada kantor bupati, ya?" Semua tertawa.
Senja di Kali CBL Bekasi mengiringi obrolan mereka, meninggalkan pertanyaan besar tentang masa depan birokrasi yang seharusnya bersih dan berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Namun, selama kepentingan politik masih lebih dominan daripada aturan, diskusi di warung kopi ini akan selalu menemukan topik baru untuk dibahas di hari-hari mendatang.