Cancel Culture: Antara Penghakiman dan Kesempatan Memperbaiki Diri
Di sebuah saung sederhana di pinggiran desa, suasana awal malam terasa tenang. Angin berhembus lembut membawa sisa aroma bakaran dedaunan kering sisa pembakaran tadi sore, sementara lampu led temaram menerangi ruangan saung tanpa dinding.
Ki Somad, lelaki paruh baya dengan sorot mata penuh kebijaksanaan, duduk bersila di atas tikar anyaman. Secangkir kopi pahit mengepul di depannya, sementara kretek yang ia hisap perlahan mengeluarkan aroma khas tembakau Indonesia.
Di hadapannya, beberapa pemuda duduk dengan penuh perhatian, siap mendiskusikan fenomena yang masih ramai di media sosial dan kota-kota besar—cancel culture.
Cancel Culture
"Ki, aku ingin bertanya," ujar Farhan, seorang mahasiswa yang baru pulang dari kota. "Di media sosial, banyak orang yang dihujat, dirisak dan diboikot karena kesalahan mereka, bahkan sampai memviralkan kesalahan sehingga terjadi penghakiman melalui
opini publik. Ini disebut cancel culture. Menurut Ki Somad, apakah budaya penghakiman atau cancel culture seperti itu adil?"
Ki Somad mengelus janggutnya, tersenyum tipis, lalu menjawab, "Sebelum kita berbicara adil atau tidak, mari kita pahami dulu apa yang sedang terjadi. Cancel culture ini ibarat hujan deras yang datang tiba-tiba. Kadang ia menyirami tanah yang gersang, menghidupkan keadilan. Namun, jika terlalu deras, bisa jadi banjir yang menghanyutkan segalanya, bahkan yang tak bersalah."
Farhan mengernyitkan dahi, mencerna perumpamaan yang diberikan oleh Ki Somad. "Maksud Ki, ada sisi baik dan buruknya?"
Ki Somad mengangguk perlahan. "Betul, Nak Farhan. Ada kalanya cancel culture membantu menegakkan keadilan, terutama ketika hukum lamban atau abai terhadap suatu kesalahan. Dulu, orang-orang yang memiliki kuasa sering terhindar dari konsekuensi perbuatannya. Kini, dengan media sosial, suara rakyat lebih mudah terdengar. Namun, masalahnya, keadilan yang ditegakkan oleh massa tidak selalu berlandaskan kebijaksanaan."
Farhan menghela napas. "Jadi, ada risiko orang yang tidak sepenuhnya bersalah pun bisa dihancurkan reputasinya?"
Ki Somad tersenyum tipis. "Persis. Seperti hujan deras yang kau tahu, ia tak memilih mana tanah yang hanya butuh sedikit air dan mana yang rentan longsor. Sekali turun, ia mengguyur semuanya. Orang yang memang bersalah mungkin patut mendapat konsekuensi, tetapi bagaimana dengan mereka yang sebenarnya bisa memperbaiki kesalahannya? Bukankah setiap manusia pernah khilaf?"
Farhan terdiam sejenak. "Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi cancel culture ini, Ki?"
Ki Somad menghela napas panjang. "Sebelum kita ikut menghujat atau membela, kita perlu menimbang dengan hati-hati. Jangan sampai kita hanya menjadi bagian dari badai yang merusak tanpa benar-benar memahami apa yang terjadi. Lebih baik kita ajak orang yang bersalah untuk memperbaiki diri, bukan hanya menghukumnya tanpa kesempatan untuk belajar. Jika kita bisa memberi ruang bagi seseorang untuk berubah, bukankah itu lebih bijaksana?"
Farhan mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia mulai merenungkan bagaimana dunia digital yang penuh kebebasan ini juga bisa menjadi pisau bermata dua. Mungkin, bukan tentang menolak atau menerima cancel culture sepenuhnya, tetapi bagaimana bersikap adil dalam menyikapinya.
Alat Pengingat atau Hukuman Abadi?
"Tapi, Ki," sela Ratna, seorang guru muda. "Bukankah cancel culture juga bisa jadi alat kontrol yang baik? Misalnya, jika ada pejabat korup atau tokoh yang berkata rasis, masyarakat bisa menekan mereka agar bertanggung jawab melalui
media sosial atau lainnya."
"Benar sekali, Nak Ratna," jawab Ki Somad dengan anggukan mantap. "Cancel culture bisa menjadi pengingat bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya. Orang-orang yang bertindak tidak etis harus belajar dari kesalahan mereka. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kita memberikan mereka kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri? Ataukah kita hanya menghukum tanpa memberi ruang perbaikan?"
Diskusi semakin memanas. Beberapa pemuda mulai berbicara dengan nada tinggi, sebagian mendukung cancel culture sebagai alat keadilan sosial, sementara yang lain merasa bahwa budaya maaf lebih penting untuk menjaga harmoni masyarakat.
Ki Somad hanya tersenyum, menghirup kopinya perlahan, membiarkan mereka berdebat sejenak sebelum kembali berbicara.
Ki Somad mengangkat tangan, meminta semua orang untuk tenang. "Keadilan sejati bukan hanya tentang menghukum, tetapi juga membimbing. Jika kita ingin dunia yang lebih baik, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita ingin menghancurkan atau membantu membangun kembali? Kesempatan kedua adalah bagian dari perjalanan menuju perbaikan. Jika kita hanya berfokus pada hukuman, kita bisa saja kehilangan potensi perubahan yang lebih besar."
Ratna mengangguk pelan, mulai memahami perspektif yang lebih luas. Farhan, yang sejak awal mendengar dengan seksama, akhirnya menyimpulkan, "Mungkin yang perlu kita usahakan adalah keseimbangan, Ki. Keadilan yang tegas, tetapi juga memberi ruang bagi seseorang untuk berubah."
Ki Somad tersenyum penuh kebijaksanaan. "Tepat sekali, Nak Farhan. Sebab dunia ini bukan hanya butuh keadilan, tetapi juga butuh kasih sayang."
![Cancel Culture: Antara Penghakiman dan Kesempatan Memperbaiki Diri Cancel Culture: Antara Penghakiman dan Kesempatan Memperbaiki Diri](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglHdKFR0F0VLvFI6XyZXZD2dp1S696Z2_IOyx_BupAoPkF9EtPRjq9fts1A9oDaDmB43T3QVZAsgmu2iq0SguOsG3TfUpBDChQTuMtQ3rlWnPk0xcgHr4PrDiKtubqAaabS2dcQkID/w400-h208-rw/cancel+culture.jpg)
Budaya Maaf
Farhan mengangguk-angguk. "Di sisi lain, Ki, budaya kita mengajarkan untuk saling memaafkan. Kalau seseorang sudah meminta maaf, bukankah sebaiknya kita memaafkan dan tidak terus menghukum mereka?"
Ki Somad meniup asap kreteknya ke udara, memperhatikan bagaimana lingkaran-lingkaran asap itu perlahan memudar. "Budaya kita, Nak Farhan, memang menjunjung tinggi pemaafan. Dari kecil kita diajarkan untuk memaafkan kesalahan orang lain. Namun, apakah memaafkan berarti melupakan begitu saja sebuah kesalahan? Ataukah ada jalan tengah yang lebih baik?"
Mereka semua terdiam, berpikir. Lalu, Budi, seorang pemuda yang sehari-hari membantu di balai desa, mengangkat tangannya. "Jadi, bagaimana caranya agar cancel culture dan budaya maaf bisa berjalan berdampingan, Ki?"
Jalan Tengah
Ki Somad meletakkan cangkirnya dan tersenyum bijak. "Ada tiga hal yang perlu kita pahami. Pertama, tidak semua kesalahan sama. Ada kesalahan kecil yang cukup ditegur, ada yang butuh konsekuensi lebih berat. Kita harus melihat konteks sebelum menjatuhkan vonis. Kedua, setiap orang berhak atas kesempatan untuk memperbaiki diri. Jika mereka benar-benar menyesali dan belajar dari kesalahan, apakah kita masih pantas menghukum mereka seumur hidup? Ketiga, masyarakat perlu belajar berdiskusi dengan sehat, bukan sekadar ikut-ikutan marah tanpa tahu duduk perkaranya."
Perdebatan masih berlanjut. Beberapa pemuda masih bersikeras bahwa orang yang melakukan kesalahan besar tidak boleh dimaafkan begitu saja, sementara yang lain mulai memahami pentingnya keseimbangan. Ki Somad tetap menjadi penengah, mendengarkan setiap argumen dengan sabar.
Ratna mengangguk setuju. "Jadi, Ki Somad ingin bilang bahwa cancel culture boleh saja, asalkan ada ruang untuk perbaikan kesalahan dan refleksi?"
"Tepat sekali," ujar Ki Somad. "Menghukum tanpa memberikan kesempatan kedua sama saja seperti menebang pohon karena satu rantingnya kering. Tapi, memberi maaf tanpa meminta pertanggungjawaban juga bisa membuat orang seenaknya bertindak. Yang kita perlukan adalah keseimbangan. Seperti kata pepatah, 'air tenang menghanyutkan, air deras merusak'. Kita harus menjadi air yang mengalir dengan bijak."
Keadilan dan Kasih Sayang
Malam semakin larut, tetapi percakapan itu masih menggantung dalam benak mereka. Cancel culture dan budaya maaf, dua hal yang tampaknya bertentangan, ternyata bisa berjalan berdampingan jika masyarakat bisa lebih bijaksana dalam menilai suatu keadaan.
Di bawah cahaya bulan, Ki Somad menatap cucu-cucu dan keponakannya satu per satu dan berkata, "Ingatlah, keadilan tanpa belas kasih bisa menjadi kejam. Tapi belas kasih tanpa keadilan bisa menjadi kelemahan. Kita butuh keduanya agar dunia tetap seimbang."
Malam itu, mereka pulang dengan pikiran yang lebih terbuka, membawa pelajaran tentang kebijaksanaan di
era digital yang penuh gejolak.