Dari Rapat ke Seminar: Kapan Kerjanya?

Konferensi dan seminar lebih ramai dari aksi nyata. Semua bicara tentang perubahan tapi eksekusi minim. Kapan kita berhenti diskusi dan mulai bekerja?
Karena jika semua orang hanya berbicara, siapa yang akan benar-benar bekerja?

Ngopi Santai

Di sudut sebuah kafe mewah di Jakarta, lima orang sahabat duduk mengelilingi meja kayu yang penuh dengan cangkir kopi dan laptop yang terbuka. Mereka bukan sekadar teman lama yang berkumpul, melainkan bagian dari lingkaran profesional yang selalu saja tampak sibuk.

Adrian, seorang CEO startup teknologi, menyesap cappuccinonya dengan santai. "Besok aku jadi panelis di ‘Summit Ekonomi Digital Indonesia’, membahas masa depan startup," katanya dengan nada bangga.

Lina, seorang konsultan yang sudah kenyang pengalaman, terkekeh. "Lagi? Bukannya bulan lalu juga ada event serupa? Apa yang berubah sejak saat itu?"

"Ya tentu saja tidak banyak. Tapi tetap penting untuk bisa hadir. Networking, exposure, dan eksistensi untuk menunjukkan kalau kita bagian dari industri ini," balas Adrian sambil mengangkat bahu.

Dari sudut lain, Budi, seorang akademisi yang sering diundang dalam diskusi publik, ikut menimpali, "Aku juga baru-baru ini ikut jadi panelis di seminar ‘Masa Depan UMKM di Era AI’. Pembicaraan menarik, tapi ya… seperti biasa, tidak ada tindak lanjutnya."
Mereka semua tertawa. Inilah fenomena yang sudah menjadi bagian dari ekonomi Indonesia—bukan ekonomi berbasis produksi atau inovasi nyata, melainkan ekonomi konferensi. Di mana keberhasilan diukur bukan dari hasil, tetapi dari berapa kali seseorang tampil di panggung dan berapa banyak pemberitaan atau exposure media sosial setelahnya.

Dari Seminar ke Seminar: Kapan Kerjanya?

Kapan Kerjanya?

Ayu Mira Gemala, seorang jurnalis muda yang baru bergabung dengan lingkaran mereka, tampak bingung. "Jadi, sebenarnya kalian semua tahu bahwa ini hanya sekadar acara tanpa aksi nyata? Kenapa tetap ikutan?"

Lina tersenyum, menjelaskan dengan sabar. "Begini, Mira. Kalau kamu tidak hadir, kamu dianggap tidak relevan. Semua orang tahu bahwa sebagian besar konferensi ini tidak menghasilkan dampak nyata, tapi ini adalah bagian dari pertunjukannya. Para CEO harus terlihat sibuk, para investor ingin mendengar janji manis, dan pemerintah perlu pencitraan bahwa mereka peduli. Faktanya, aparat pemerintah justru yang mendominasi penyelenggaraan rapat dan konferensi seperti itu."

Mira mengangguk pelan, mencoba memahami ironi di balik dunia bisnis yang penuh dengan acara megah tapi minim eksekusi. "Jadi… kapan kita benar-benar mulai bekerja jika semua itu cuma pertunjukan?"

Adrian tertawa terbahak-bahak, lalu menepuk bahu Mira dengan ringan. "Itulah pertanyaannya, Mira! Mungkin saat kita berhenti menggelar rapat, seminar atau konferensi dan mulai benar-benar bekerja, baru ada perubahan. Tapi kenyataannya, rapat hingga seminar seperti ini seperti siklus yang tanpa akhir. Kita membahas topik yang sama, mengundang pembicara yang sama, bahkan mungkin menggunakan slide PowerPoint yang sama. Semua ini hanya untuk menjaga eksistensi kita di dunia profesional." Ia mengangkat cangkir kopinya, tersenyum jahil. 

"Tapi sampai saat itu benar-benar terwujud, jangan lupa mampir ke event aku besok. Siapa tahu, ada kopi gratis dan kesempatan foto dengan pejabat!"

Mira hanya bisa menghela napas, menatap cangkir kopinya yang sudah mulai dingin. Di kota yang tak pernah kehabisan konferensi ini, diskusi talkshow sampai konferensi memang tak pernah berakhir. 

Namun, yang menjadi pertanyaan besar apakah semua acara itu benar-benar menghasilkan perubahan yang nyata, atau cuma sekadar pertunjukan tanpa akhir?. Dari rapat ke seminar yang tanpa lelah ia liput, ia sempat merenung. "Rapat melulu, kapan kerjanya?" gumamnya dalam hati.

Ia teringat pada berbagai konferensi yang sering ia liput dan beritakan: diskusi tentang digitalisasi yang terus diadakan meski banyak daerah masih kesulitan akses internet, seminar tentang investasi yang terus menggaungkan optimisme sementara pengusaha kecil masih bergulat dengan permodalam serta perizinan dari birokrasi, dan juga panel tentang lingkungan yang diadakan dalam ruangan ber-AC dengan peserta yang datang menggunakan kendaraan-kendaraan pribadi. Semuanya tampak megah, tetapi hasilnya tetap terasa jauh panggang daripada api.

Negeri ini sepertinya masih terus ‘mengubur potensinya’, seperti frasa yang selalu muncul di setiap seminar dengan tema "menggali dan mengidentifikasi potensi", "tingkatkan dan naik kelas potensi" dan tema-tema sejenisnya. 

Sayangnya, kunci untuk membuka potensi itu kemungkinan sudah lama hilang—terselip di antara tumpukan undangan acara-acara berikutnya, terkubur di balik rapat-rapat dan pidato-pidato penuh jargon, serta terabaikan dalam riuhnya tepuk tangan di akhir setiap sesi apapun acaranya.

Sambil berdiri dan merapikan catatannya, Mira tersenyum kecil. Mungkin, jawabannya bukan menunggu konferensi berikutnya, tapi mulai bertindak sendiri, sekecil apa pun langkahnya. 

Karena jika semua orang hanya berbicara dan rapat, lalu siapa yang akan benar-benar bekerja?



Posting Komentar

No Spam, Please.